Minggu, 17 Juni 2012

Sepi Ini Part 1


“Sepi sekali,” satu kata terucap dari bibirku. Padahal disekelilingku ramai orang berlalu-lalang. Kurasakan sepi ini hampir membunuhku, aku seperti orang gila saat ini. Bagaimana tidak? Aku tadi bangun pukul 12.00 siang, mandi, lalu makan, dan setelah itu aku menangis sendirian. Aku benar-benar merindukan kehidupanku yang dulu. Sungguh bingung rasanya bila sendirian seperti ini. Aku rindu orang tuaku, aku rindu sahabatku, aku rindu semua orang yang ada di sekitarku.

Di penghujung tahun ini, aku tidak punya kesibukan yang harus kujalani. Aku bekerja hanya pada saat hari efektif sekolah karena aku bekerja di kantin sekolah. Selain itu, aku juga menjual mini pie buatanku sendiri. Libur panjang membuatku tidak menjual pie, terlalu banyak orang berjualan kue sepanjang libur natal dan tahun baru. Aku tidak tahu apa yang dapat aku lakukan. Aku tak mau menggunakan uang yang susah payah kudapat hanya untuk memanjakan diri. Terpaksa aku terus diam di rumah beberapa hari ini.
Iri rasanya melihat orang bisa menyambut tahun baru bersama keluarga dan teman-temannya. Pergi ke kota, ke tempat-tempat ramai seperti alun-alun kota, pusat perbelanjaan, kantor-kantor publik, dan tempa-tempat umum lainnya bersama-sama. Pasti banyak diskon, bonus, maupun layanan gratis di tempat-tempat itu. Tetap saja aku tidak bisa. Tidak banyak orang yang aku kenal, mereka hanya beberapa tetanggaku dan teman sekolah. Dan pasti mereka telah sibuk masing-masing, aku tak mau mengusik kehidupan mereka.
Di kota ini, aku hidup sendirian. Aku sudah tidak punya orang tua. Aku harus meninggalkan kota kelahiranku hanya karena orang tuaku tidak meninggalkan cukup warisan untuk aku meneruskan sekolah di tempat yang aku inginkan. Aku tak mampu membayar biaya sekolahku yang sangat mahal, aku pindah dan menjual rumahku. Aku terpaksa meninggalkan kehidupanku yang nyaman, meninggalkan para sahabatku, meninggalkan sekolah elite itu, meninggalkan semua kenangan bersama orang tuaku. Aku pindah ke kota kecil  di pinggiran provinsi, berharap menemukan kehidupan yang lebih baik.
Aku sekarang hidup mandiri. Aku sudah punya rumah sendiri, mobil sendiri, dan aku melakukan pekerjaanku sendiri walaupun hanya rumah dan mobil yang sederhana yang kupunya. Uang yang aku dapatkan cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupku. Sungguh berat menjalani hidup seperti ini.
Hampir setiap hari aku menangis. Aku harus menangis sendiri dalam diam karena tak ada lagi tempatku untuk mengadu. Dalam tangisku aku selalu berdoa agar ada orang yang dapat menghapus rasa sepi ini dari hatiku dan semoga tak ada lagi orang yang bernasib sama sepertiku, yang sama merasakan kesepian yang kurasakan.
Aku kini terduduk di depan televisi. Tak ada satupun saluran TV yang kusukai, ku pencet-pencet tombol remote berulang kali. Aku mulai bosan. Kucoba meraih pie di hadapanku, kucicipi rasanya asin. Mungkin karena semalam aku membuatnya sambil menangis. Aku rasa air mataku hampir habis, karena aku ingin menangis tapi air mataku tak juga keluar. Apakah seperti ini orang terlalu sering menangis? Ia ingin menangis tapi air matanya sudah habis.
Aku berlari sambil memegang switerku. Tak sanggup rasanya terus bersedih, aku juga ingin melampiaskan kemarahanku atas ketidakadilan dalam hidupku. Langkahku kian jauh dari rumah, aku berbelok dan terus menyusuri jalan. Aku tak peduli dengan orang yang aku tabrak, tak peduli orang melihatku seperti apa, aku terus berjalan sampai aku tak sanggup lagi melangkahkan kakiku.
Ketika itu di taman dekat tengah kota, seorang laki-laki duduk sendirian. Dia terlihat begitu sedih. Entah apa yang jadi masalahnya? Aku jadi penasaran, aku ikuti kemana dia pergi. Dia pergi ke sebuah rumah kecil, dia masuk. Aku tak mungkin mengikutinya, jadi aku hanya mengintip lewat jendela. Dia tengah bicara dengan anak kecil, dia seperti mau berpamitan. Kulihat wajahnya lebih tegar dari yang tadi aku lihat. Anak kecil itu tersenyum dan memeluknya. Dia hendak keluar, segera aku bersembunyi di balik pohon. Dia merasa diikuti, semoga dia tidak curiga. Dia terus berjalan, dan aku tetap mengikutinya. Dia berbrlok ke sebuah kedai kopi. Aku tetap mengawasinya dari toko bunga di seberang jalan. Aku membeli setangkai bunga matahari hanya untuk basa-basi pada penjaga toko agar dia tidak curiga.
Sekitar 15 menit kemudian, dia keluar. Wajahnya lebih cerah dari yang aku lihat tadi. Dia keluar bersama seorang laki-laki paruh baya, dia terlihat seperti dokter. Jasnya putih, kemejanya rapi, dan dia membawa tas kecil seperti perlengkapan dokter. Mereka berjabat tangan, lalu mereka berpisah dan mengambil arah yang berbeda.
Ada tanda tanya besar di kepalaku. Tidak biasanya aku tertarik untuk mengetahui urusan orang lain terlebih saat aku tak tahu apapun tentang orang itu. Sepertinya aku pernah bertemu dengannya satu dua kali. Mungkin saat ia belanja di supermarket atau saat aku ke rumah Tony. Entahlah,...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar