Minggu, 17 Juni 2012

The Last Hope Part 3


Oxi terduduk melamun saat menatap laut yang luas. Harusnya ia memasang ekspresi terkesima lalu mendadak ia menangis bahagia sekaligus sedih karena belum menemukan kakaknya sesuai dengan naskah yang ada. Sekarang ia malah melamun, tatapannya kosong, tak sepatah katapun terucap dari bibirnya. Anehnya Sutradara Shin tidak menghentikan pengambilan gambar. Ia berkata pada Kameramen untuk tetap mengambil gambar.
“ Sutradara, bagaimana ini?”
“ Lanjutkan.”
“Apakah tidak sebaiknya cut saja?”
“ Tidak. Terus ambil gambarnya.”
“ Baiklah.”
Sekitar sepuluh menit kemudian, barulah sang Sutradara menghentikan pengambilan gambar.
“ Yak, cut!”
Oxi kontan terkaget. Ia baru sadar ia tadi harusnya berakting sesuai naskah, bukannya melamun tidak jelas. Yang di pikirannya hanya ada Bryan pantas saja ia melamun. Menurutnya Bryan sungguh menjengkelkan. Kalau saja negara ini bukan negara hukum, pastilah dia sudah mencekik Bryan sampai mati. Kesal rasanya, hatinya telah dibuat begitu dongkol. Perbuatan Bryan sepertinya tak termaafkan.
“ Maaf, Sutradara. Apa aku harus mengulang adegan tadi? Aku sungguh kehilangan kendali pikiranku. Entah kenapa aku justru melamun.”
“ Tidak, tak perlu diulang. Aktingmu luar biasa. Seperti yang kuharapkan.”
“ Bagaimana bisa? Tadi aku hanya melamun, melalaikan peran dalam naskah.”
“ Itu justru yang kuharapkan, akting yang natural. Menggunakan perasaan sepenuhnya. Bukankah tadi kau memikirkan seseorang.”
“ Hm,...”
“ Orang itu telah membuatmu benci tapi kau tetap memikirkannya. Hatimu sedang galau karenanya. Ini sudah sesuai dengan naskah. Dalam naskah kau membenci kakakmu yang telah meninggalkanmu tapi kau harus mencarinya. Bukankah sama saja? Kerjamu bagus, bersiaplah adegan selanjutnya.”
Oxi hanya tercengang,” baik Sutradara.”
Ia kehabisan kata-kata. Ia masih mencerna kata-kata Sutradara. Menurutnya Sutradara bisa membaca pikiran seperti mentalist atau bahkan cenayang. Haha, sebenarnya Sutradara hanya bisa membaca ekspresi. Tentu ia berpengalaman dalam hal ini, kalau tidak ya kenapa dia bisa jadi Sutradara kan?
Waktu yang ia miliki masih banyak tersisa. Waktunya tak lagi tersita untuk syuting. Dia sudah menyelesaikan sebagian dari semua bagiannya tadi. Kini ia boleh bersantai sambil menunggu lawan mainnya datang. Setelah memeras tenaga memang lebih enak kalau istirahat apalagi ditemani tempat yang nyaman, pemandangan yang indah, makanan yang enak dan pelayanan kelas satu. Tapi masih ada satu hal yang mengganjal di hatinya. Ini membuatnya tidak bisa menikmati liburannya. Sepertinya ada sesuatu hal yang terlupakan. Apa itu? Dia belum tahu. Apakah ada hubungannya dengan Bryan? Dia tak yakin.
***
            Pikiran Bryan sedang kacau, sepertinya ia merasa bersalah dan ingin segera mengakui kesalahannya pada Oxi. Masalahnya Oxi sekarang tidak di sini, ini yang membuatnya terus gusar. Ia yakin jauh dalam hatinya ia sangat membutuhkan Oxi. Hanya saja di luar ia tak mau menunjukannya. Terjadilah pergolakkan batin tanpa henti dalam dirinya. Ia tak bisa fokus pada aktingnya. Sebenarnya ia bukan tipe orang yang tidak profesional. Ia telah berpengalaman dan memiliki banyak pelajaran di bidang ini. Tapi dia merindukan Oxi dan dia tak bisa memungkiri hal ini. Kalau perasaan tidak bisa diajak kompromi beginilah jadinya.
“ Maaf, tapi kali ini. Aktingmu tak bisa membuat hatiku tersentuh. Bahkan kukira tadi sungguh hambar, tak ada perasaan yang dapat tersampaikan. Harusnya kau berlatih lebih keras lagi.”
            “ Maaf Sutradara, aku akan berusaha lagi.”
“ Tidak tidak, cukup dulu. Sepertinya kau butuh waktu untuk mendalami karakter dalam film ini. Kau boleh istirahat. Ini penting untuk pemulihanmu.”
“ Apa? Apakah ada kesalahan? Maafkan aku, aku akan terus mengulanginya sampai Sutradara bilang OK.”
“ Tidak perlu kau lakukan itu, akan percuma nanti. Lebih baik pulihkan keadaanmu dulu.”
“ Baik, aku mengerti.”
Bryan berjalan meningggalkan lokasi menuju ruangnya. Ia terlihat linglung dan hilang arah. Ia berjalan dengan menyeret kakinya, sungguh tak bertenaga.
“ Apa kau baik-baik saja?” tanya Manager Ok.
“ Auaikaikaja,” Bryan mengguman tak jelas.
“ Ha? Kau bilang apa?”
“ Aku baik-baik saja!” Bryan membentak.
“ Ada apa denganmu? Tak biasanya kau seperti ini. Kenapa sudah kembali? Kau gagal melakukan adegan itu?”
Bryan tak menjawabnya, ia melirik tajam. Manager Ok tahu artinya. Pikiran Bryan sedang kacau sekarang. Bryan kini hanya memberi tatapan kosong di depan kaca. Ia merasa menjadi orang yang paling tidak mampu sekarang. Ia tak berdaya, tak mampu lakukan apapun lagi semenjak Oxi pergi.
Di saat yang sama Oxi masih berpikir. Lama Oxi  berpikir, akhirnya ia menemukan jawabannya. Itu ada hubungannya dengan Bryan. Ternyata ia memiliki firasat yang buruk, ia khawatir kalau ada apa-apa dengan Bryan. Ia orang yang paling memahami Bryan, bahkan ia lebih memahami Bryan daripada Manager Ok atau orang tuanya sekalipun. Semarah atau sekesal apapun ia harus mengesampingkannya demi Bryan. Oxi memutuskan kembali ke lokasi syuting semula dan meninggalkan di lokasi syuting saat ini. Toh, si pemeran Kakaknya yang misterius itu belum datang. Kata para kru dia datang dua hari lagi. Jadi Oxi bisa mengambil kesempatan dua hari ini.
Ia pergi demi Bryan. Sampai di lokasi ternyata semua telah pindah lokasi sementara ke resort. Ia lantas menyusul ke resort. Tapi di resort Sutradara Yang justru bilang ia memberi Bryan jeda dan Bryan malah pergi ke lokasi awal. Oxi langsung kembali ke lokasi awal untuk mencari Bryan.
Bryan menghilang entah kemana. Sebagian kru juga mencarinya. Bryan gagal melakukan aktingnya. Ia telah mengulang berkali-kali tapi tak berhasil. Sutradara memberinya jeda agar ia bisa mendalami perannya, tapi disela-sela jedanya ia belum juga menemukan apa yang harus dilakukannya, karena frustasi Bryan pergi dan bersembunyi.
***
Bryan tengah duduk di batu dekat taman. Banyak yang mencarinya, tapi pohon di belakang batu yang ia duduki membuatnya tak terlihat. Kabur saat syuting seperti ini adalah sikapnya yang sangat kekanakkan. Ia kesulitan memahami naskah. Ia harus mengulang-ulang adegan itu tapi tetap tak berhasil.
Oxi terus mencari Bryan. Walaupun selama ini ia sengaja menghindar agar tak bertemu dengan Bryan, tapi sekarang ia ingin membantu Bryan mengatasi masalahnya. Saat ini Bryan butuh seseorang yang harus membantunya. Dan secara suka rela Oxi mau melakukan hal itu. Oxi mencari ke segala penjuru tempat yang biasa dihampiri Bryan tapi tak menemukannya. Ia mencoba untuk menyusuri taman, di sana akhirnya ia bisa menemukan Bryan.
Oxi berjalan menghampirinya. Byan yang menyadari kedatangan Oxi segera memasang muka masam.
“ Kau sedang dicari-cari.”
“ Kau ke sini hanya mau menghina kan?”
“ Tidak, hanya saja aku mau membantu kamu.”
“ Puih! Tidak mungkin.”
“ Kenapa tidak? Aku tahu kalau kita sekarang tidak akur. Tapi aku bukan berarti itu akan membuatku untuk berhenti membantumu. Aku bukan tipe orang yang ingin memanfaatkan kelemahan orang lain. Kalau lawan main punya kelemahan, aku harus membantunya. Demi profesionalisme.”
“ You’re right,” katanya pelan.
“ Apa? Apa yang kau bilang?”
“ Tidak, aku tidak bilang apa-apa.”
“ Alah, ayo mengakulah!”
“ Aku bilang banyak nyamuk, ayo kembali ke sana.”
Oxi tersenyum begitu pula Bryan. Mereka berjalan bersama.
“ Ngomong-ngomong apa yang membuatmu  susah buat berakting adegan itu. Menurutku ya, dialognya pendek, gerakannya mudah, dan,...” kalimat Oxi terputus saat Bryan menggandeng tangan Oxi. Dipegangnya tangan Oxi erat.
“ Hanya saja saat melakukan adegan itu dengan Rose, aku tidak bisa mendapat feeling.”
“ Kenapa begitu?”
“ Aku sendiri juga tidak tahu.”
“ Sebelum-sebelumnya kau selalu baik-baik saja di film-film yang lalu. Belum pernahkan sampai seperti ini kan?”
“ Iya, tapi kali ini beda.”
“ Apanya yang beda?”
“ Pokoknya beda.”
“ Ih, lalu apa? Kau masih tak mau bilang. Siapa tahu aku bantu kan?”
“ Yakin mau bantu?”
“ Memangnya kenapa? Kau masih tak percaya aku? Ya sudah, aku pergi saja kalau begitu.”
“ Eh, eh, jangan. Ok ok. Begini, rasanya aku tidak bisa mendapat feeling karena ada yang beda. Karena kau ada di sini. Tanpa kau aku leluasa berakting. Kali ini, di film yang sama ada kau. Aku jadi canggung.”
“ Canggung? Santai sajalah. Aku? I’m fine. Aku tak akan mengganggu kamu. Aku di sini juga bekerja untuk diriku sendiri. Bukannya mau mengganggu kamu.”
 “ Bukan itu maksudku. Sebelumnya kau hanya menyemangatiku di belakang layar. Aku canggung karena kau jadi lawan mainku. Aku nggak bisa leluasa melakukan itu dengan Rose. Dan malah ingin melakukan adegan itu kalau bersama kau.”
“ Hah?” Oxi tercengang. “ Kenapa begitu?”
“ Aku takkan bisa melakukan itu dengan tulus kalau aku memang tidak menyukai orangnya.”
“ Tulus? Suka?” tanya Oxi dalam hati.
“ Jangan bercanda. Aku sekarang bukan yang dulu lagi. Bukan anak lugu, jadi jangan gampang bercanda seperti itu.”
“ Aku tidak bercanda. Aku jujur.”
“ Ihh....”
“ Sungguh. Rasanya berbeda seperti kemarin saat aku bersamamu. Saat itu aku bisa terbawa dalam karakter yang aku perankan, karena kau juga berakting dengan hebat.”
Bryan melempar pujian yang menyatakan akting Oxi “hebat”. Bukannya kemarin Bryan masih menilai akting Oxi setara artis kelas tiga? Hal ini membuat Oxi sedikit tersanjung. Rasa kesalnya seperti meleleh hilang.
“ Apa itu pujian?”
“ Yaiyalah, hebat itu memangnya bukan pujian ya?”
“ Kau ternyata baik juga, tidak hanya menyebalkan.”
“ Kapan aku menyebalkan?”
“ All the time.”
“ Benarkah?”
“ Iya, sangat menyebalkan. Sampai-sampai aku pernah berpikir untuk mencekikmu.”
“ Mencekikku? Teganya. Iya Aku memang menyebalkan. Tapi kenapa aku malah pernah merasa kalau aku suka padamu.”
Oxi merasa disambar petir. Apa dia salah dengar? Sampai-sampai ia membatu dan mulutnya rasanya seperti dilem. Pengakuan Bryan sangat mengejutkan baginya. Sekuat tenaga ia kembali bertanya pada Bryan.
“ Maksudmu?”
“ Apa aku benar-benar telah jatuh cinta? Kadang-kadang berpikir tentang perasaanku ini. Tadi aku sampai gila rasanya terus-menerus memikirkanmu.”
Sebelum Oxi sempat berkata-kata. Dengan mudahnya Bryan mengganti topik pembicaraan. Bryan agak malu setelah membuat pernyataan tadi. Pikirnya ini bukan saat yang tepat, belum saatnya ia menyatakan perasaannya karena itu sendiri belum yakin apa itu rasa cinta. Oxi hanya bisa menelan ludahnya. Sepertinya hari ini adalah hari yang paling mengejutkan bagi Oxi.
Mereka berdua terus bergandengan tangan sampai di lokasi. Lalu mereka melepas pegangan tangan itu saat mendekati keramaian orang-orang. Dalam hati masing-masing, mereka berharap takkan bisa melepas pegangan tangan masing-masing. Karena dengan itu mereka bisa bersama lebih lama lagi. Mereka merasa nyaman satu sama lain sekarang. Tapi Bryan yang dulu membuat peraturan bodoh ini. Mau tidak mau ia harus menaatinya karena dia yang sudah membuatnya.
Dalam hati Bryan membodoh-bodohkan dirinya karena telah membuat peraturan bodoh itu. Ia tak ingin melepas pegangannya. Tapi Oxi tahu ia harus melakukannya. Lagi-lagi semua demi Bryan. Oxi rela. Bryan jadi sangat kesal pada dirinya sendiri.
“ Cukup di sini. Aku harus pergi. Aku tak ingin yang lain tahu dan aku akan malu nantinya.”
Oxi terpana, apa Bryan harus mengatakan kata-kata itu. Malu? Selama ini hanya karena malu? Bryan memang tak pernah mau serius dengan dirinya. Jadi selama ini yang ia kerjakan demi Bryan hanya dianggap sebagai angin lalu. Tadi ia berkata-kata manis, hanya untuk menjatuhkannya. Ia merasa dipermainkan sekarang. Tak bisa ditahan lagi. Matanya berkaca-kaca. Percuma saja, Bryan berjalan menjauh tanpa berpaling pada Oxi.
Bryan berjalan tanpa berpaling karena hatinya selalu ingin merasa di dekat Oxi. Tak ia sangka mulutnya tadi tak bisa bekerja sama dengan baik. Ia selalu mengatakan hal-hal yang menyakitkan pada Oxi. Membuatnya memasang tembok tinggi antara mereka berdua. Bryan tak ingin Oxi menderita karenanya. Nasi sudah menjadi bubur, semuanya sudah terlanjur. Ia tak bisa memutar waktu kembali.
Oxi kembali merasa sedih dan benci. Ia merasa sangat rendah sekarang. Tak akan lagi ia mau membantu Bryan. Ia sungguh menyesal. Sekarang justru ia ingin membalas perlakuan Bryan yang membuatnya patah hati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar