Jumat, 09 November 2012

Cerpen : Berawal Dari Singkong


Lima tahun yang lalu,
Sakti sedang mengayuh sepeda tua milik bapaknya. Walau di tengah hujan, ia tetap melaju. Tujuannya hanya satu yaitu mengikuti ujian nasional. Susah payah orang tuanya membanting tulang agar ia dapat bersekolah. Ia berharap dengan mengenyam pendidikan, ia dapat meraih cita-citanya kelak di masa depan.

Zaman sekarang ini susah mendapat pendidikan yang layak. Iming-iming sekolah gratis nyatanya nihil dan malah dimanfaatkan oknum tertentu. Dana yang digelontorkan pemerintah untuk mencerdaskan anak bangsa hanya berakhir di kantong orang-orang yang tak amanah. Seharusnya pemberantasan korupsi dipertegas lagi bukannya tebang pilih dan dapat berlangsung dengan efektif agar kemakmuran bangsa itu juga dapat tercapai.
Karena SMAnya begitu terpencil dan jumlah siswanya yang terlalu sedikit, jadi untuk Ujian Nasional sekolahnya akan digabung dengan sekolah lain. Dan jarak kedua sekolah itu bukan main jauhnya, sekitar 20 kilometer. Andai saja ada angkutan umum dengan harga terjangkau. Ia tak perlu bersusah payah mengayuh sepeda lagi. Dengan angkutan umum semua orang bisa bepergian. Dengan begitu aktivitas perekonomian juga menjadi lancar. Bukan hanya dalam bidang ekonomi, bidang lain juga tentunya akan semakin berkembang.
Di kota memang banyak angkutan umum, tapi di desa? Di desa tak ada angkutan umum yang dapat melayani kebutuhan masyarakatnya. Karena tak adanya transportasi yang memadai juga yang menyebabkan kehidupan di desa jauh dari kemajuan di kota. Angkutan yang paling sering terlihat mungkin hanya sepeda, gerobak, dan kereta kuda. Di desa, jalanan masih berupa batuan dan tanah saja. Saat musim hujan jalan semakin sulit dilalui karena berlumpur. Tak ada jalan aspal yang lurus. Aparat desa tak bisa berbuat banyak. Proposal yang mereka ajukan ke Pemerintah Daerah sering ditolak dengan alasan dana yang tidak mencukupi.
Aktifitas perdagangan di desa sangat bergantung dengan pasar tradisional yang hanya buka di hari-hari tertentu. Pemasok juga pedagangnya hanya penduduk lokal. Hasil bumi yang dijual juga hasil tanam sendiri. Pasar seperti ini tak memberi banyak pilihan bagi konsumennya. Barang seperti sabun maupun peranti rumah tangga jadi barang langka di desa yang terpencil. Untuk mendapat barang yang diinginkan terpaksa mereka harus pergi jauh ke kota dahulu.
            Sesampainya di tempat tujuan, hujan sedikit reda. Ada waktu yang tersisa untuknya bisa belajar walau hanya sempat membaca sekilas. Saat ujian berlangsung ia khawatir pada keadaan ayahnya. Terakhir kali ia melihat ayahnya tadi pagi, penyakit ayahnya kambuh lagi. Mungkin pagi ini ayahnya absen bekerja. Dan karena ayahnya satu-satunya tulang punggung keluarga, hari ini keluarganya tak memiliki pendapatan sama sekali. Itu berarti tak ada beras untuk dimasak hari ini. Mungkin hari ini keluarganya harus berpuasa dulu. Inilah derita rakyat kecil macam mereka yang hidup serba kekurangan. Jiak sakit mereka tak punya biaya untuk berobat. Jalan satu-satunya hanya beristirahat dan mengunakan jamu tradisional sebagai obat. Ibunya cukup terampil meramu jamu tradisional.
***
Sekarang,
Pak Parto tengah duduk santai di beranda rumahnya. Tubuh tuanya sudah minta diistirahatkan. Tak mudah memang seharian mencangkul sawah. Rencananya sawah itu hendak ditanami singkong. Musim kemarau seperti ini ia tak mampu membayar air untuk mengairi sawahnya bila harus ditanami padi. Hanya singkong yang mampu ditanamnya. Banyak petani lain yang menanam jagung. Tapi lagi-lagi karena uang, Pak Parto tidak bisa membeli bibitnya. Memang singkonglah yang paling sederhana. Bibitnya cukup diambil dari batang singkong yang ditanamnya di belakang rumah. Batang itu di stek lalu bisa ditanam di sawahnya. Singkong ini biasanya hanya untuk makan sehari-hari, bila ada sisa akan dijual.
Dengan hasil penjualan singkong ia dapat membiayai sekolah anak-anaknya. Semua anaknya kini sudah mapan dan berkeluarga, kecuali anak bungsunya yang masih bekerja dan belum mendapat jodoh.
            “ Pak,” panggil bu Inem, istrinya.
            “ Ada apa tho bu?” sahut pak Parto.
            “ Itu,” bu Inem menunjuk sebuah mobil hitam yang baru berhenti di halamannya.
            Mobil hitam yang masih mulus itu memang pemandangan langka bagi keluarga pak Parto. Terlebih ia tinggal di desa. Jarang ada mobil di sini, kalaupun ada pasti hanya mobil bak terbuka milik juragan sayur yang lewat. Tiba-tiba pak Parto juga istrinya tercengang saat si pengemudi mobil itu keluar. Hati mereka rasanya berbunga-bunga dan mereka tak kuasa menahan air mata bahagia. Mereka berdua berhamburan menyambut kedatangan orang itu.
            “ Assalamualaikum,” salam si orang itu.
“ Waalaikumsalam wr. wb,” jawab mereka dan saat itu juga ibu sudah memeluk orang itu.”
“ Anakku, Sakti. Kenapa baru datang, nak. Tidak kabar-kabar dulu. Tahu begitu ibu masak sayur asem kesukaanmu, nak.”
“ Saya sudah kirim surat dua minggu yang lalu, bu. Apakah belum sampai ke tangan ibu.”
“ Ya mungkin masih tertahan di kelurahan. Ya sudahlah, yang penting kamu sampai di sini dengan sehat dan selamat,” jawab pak Parto.
Merekapun masuk. Sang putra langsung saja disuguhi dengan masakan ibunya. Dan setelah santap sorenya, mereka mulai berkumpul membicarakan tujuan putranya pulang kali ini.
“ Tiada angin tiada hujan, kok kamu pulang tho, Sakti,” tanya pak Parto.
“ Begini Pak, saya sebenarnya punya kabar buruk. Tiga bulan yang lalu ada PHK besar-besaran dan saya adalah salah satu yang dipecat.”
“ Kok bisa? Apa kerja kamu tidak beres di sana?” Bu  Inem tengah syok.
“ Bukan begitu bu, sebenarnya saya sudah bekerja keras. Tapi memang bukan rejekinya. PHK bisa menimpa siapa saja,” Sakti menjelaskan maksudnya dengan seksama agar orang tuanya bisa menerima keadaannya.
Seketika wajah ceria pasangan suami istri itu pun berubah sedih. Anak bungsu mereka yang mereka sayangi dan sekarang malah membuat mereka kecewa.
“ Tapi pak bu, saya sekarang sudah bekerja lagi. Sekarang saya mulai berwirausaha. Hasilnya lumayan, bahkan lebih dari yang dulu”
“ Alhamdulillah, Gusti terima kasih. Saya pikir habis sudah harapan kami. Ternyata Kau masih membukakan jalan keluar. Terimakasih,” bu Inem langsung mengucap rasa syukurnya.
“ Apa usahamu itu, nak?” Tanya pak Parto.
“ Sederhana sebenarnya pak, saya hanya membuat peranti rumah tangga. dan semuanya terbuat dari kayu. Dan hanya kayu limbah industri saja yang saya gunakan. Di perusahaan tempat saya bekerja dulu juga bergerak di bidang furniture. Kayu itu juga saya pasok dari perusahaan itu. Daripada limbah kayu dari sana hanya bisa dibakar lebih baik dibuat menjadi benda lain yang memiliki nilai guna.”
Pak Parto hanya bisa mengangguk. Apa yang Sakti katakan memang ada benarnya. Selain dapat menciptakan lapangan pekerjaan bagi orang lain, wirausaha dapat mengatur pola dan ritme kegiatan sendiri. Dibutuhkan karakter positif diperlukan sebagai motivasi agar kita tidak mudah menyerah pada hambatan, resiko, ancaman, tantangan juga gangguan yang sering muncul seiring perjalanan. Sikap disiplin, keinginan untuk terus belajar, kreatif, dan inovatif dalam menciptakan peluang, terbuka dan menghargai setiap perbedaan, serta pola pikir yang mampu membangun motivasi diri, merupakan beberapa karakter wirausaha.
“ Pak, restuilah saya untuk berwirausaha. Jujur saya saya bosan jadi pegawai.”
“ Mau bagaimana lagi, nak? Lakukan apa yang menurutmu benar. Bapak dan ibu hanya bisa mendoakan. Satu pesan bapak, tetaplah semangat dan jangan mudah putus asa.”
***
Pagi sekali, pak Parto dan istrinya sudah memulai rutinitasnya. Sakti pun juga membantu pekerjaan kedua orang tuanya. Walaupun hidup di kota bukan berarti ia tak biasa melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah. Prinsipnya, ia tak akan jadi kacang yang lupa pada kulitnya. Tak ada guna baginya bila bersikap malas dan sikap tidak peduli seperti orang kota. Sakti membantu bapaknya menanam singkong Saat menancapkan potongan batang singkong itu ke tanah. Sejenak ia teringat sepenggal perjalanan hidupnya.
Dari kecil ia sudah dididik dengan baik untuk menjadi orang yang sukses di dunia maupun di akhirat. Selain bersekolah, pada sore hari ia belajar di TPQ. Pendidikan agama bagi anak memang sangat penting. Hendaknya kita membekali anak dengan ilmu agama dapat membentengi iman  di jaman global yang sarat akan maksiat. Pendidikan berkarakter yang dicanangkan itu juga merupakan langkah maju pemerintah untuk generasi muda penerus bangsa. Bila bangsa kita memiliki bibit-bibit yang unggul niscaya bangsa kita akan jadi bangsa yang maju, adil, makmur, dan aman selalu.
***
Ponsel Sakti berdering, ada panggilan dari kakaknya, Bakti.
“ Halo, assalamualaikum,” jawab Sakti.
“ Waalaikumsalam, Sakti kau kemana? Apa kau pulang?” Tanya Bakti.
“ Iya mas, saya pulang ke rumah bapak dan ibu sebentar. Sekedar memberi kabar saja. Besok saya kembali.”
“ Kenapa terburu-buru? Santai saja di sana.”
“ Saya tidak bisa mas, banyak pekerjaan yang menunggu.”
“ Tambah satu dua hari lagilah, dik. Aku akan pulang. Masmu, Jaka, juga akan pulang.”
“ Benarkah?”
“ Iya, dia meneleponku kemarin. Semua akan berkumpul. Sayang kalau dilewatkan. Jarang sekali kita bisa satu atap barangkali satu dua hari saja.”
“ Baiklah, mas. Saya menurut saja.”
“ Ngomong-ngomong bagaimana kabar bapak ibu di sana?”
“ Alhamdulillah, bapak dan ibu baik-baik saja.”
“ Syukurlah kalau begitu. Jangan lupa sampaikan kabar ini pada mereka. Anita dan keponakanmu, Ardi, juga ingin cepat pulang mereka juga rindu pada bapak dan ibu. Nanti sore kami sekeluarga berangkat ke sana. Mungkin malam baru tiba.”
“ Tentu saya sampaikan. Lalu, kapan mas Jaka ke sini?”
“ Besok.”
“  Kenapa besok?”
“ Katanya ada acara di kantor, besok ia bisa berangkat.”
“ Baiklah, akan saya tunggu kalian di sini.”
***
Selesai sholat Isya’, Sakti duduk di ruang tamu. Tiba-tiba bu Inem menyodorkan secangkir kopi di hadapan Sakti, lalu duduk di kursi sebelah Sakti.
“ Apa masih lama tho, nak?” Tanya bu Inem.
“ Saya tidak tahu bu, mas  Bakti hanya bilang kalau sore ia berangkat.”
“ Bisa kau hubungi dia?”
“ Baik, sebentar.”
Sakti memencet ponselnya, dan beberapa detik kemudian ia bercakap singkat. Bakti tengah mengemudi jadi yang mengangkat telpon tadi istrinya, Anita.
“ Kata mbak Anita, mereka masih sampai perempatan jalan raya. Biasanya butuh satu jam untuk masuk ke desa ini.”
“ Kita tunggu saja kalau begitu.”
Sepi… Mereka berdua hanya duduk diam menunggu kedatangan keluarga kecil Bakti. Tak ada suara kendaraan apalagi televisi dan radio. Beda dengan kehidupan kota yang nyaris tak pernah tidur. Siang hari kota dipadati penduduk yang sedang beraktifitas, kehidupan malamnya pun tak kalah ramai. Bu Inem baru sadar kalau pak Parto tak terlihat dari tadi. Selepas sholat Isya’ pak Parto seakan menghilang begitu saja.
“ Nak, kau tadi lihat bapakmu tidak?” bu Inem memecah keheningan.
“ Tidak bu, ada apa?” jawab Sakti.
“ Dari tadi ibu tidak lihat bapakmu. Ibu khawatir,” kata bu Inem cemas.
“ Jangan khawatir bu, kata bapak tadi mau kenduri ke rumah pak Lurah. Saya lupa mengatakannya. Maaf ya, bu?”
“ Iya, tapi jangan begitu lagi ya? Ibu cemas memikirkannya.”
“ Tidak akan saya ulangi lagi. Saya minta maaf.”
Ada suara mobil berhenti di depan rumah, juga ada suara khas pak Parto. Bu Inem berlari keluar rumah disusul oleh Sakti. Ternyata Bakti dan keluarga telah sampai dan di jalan tadi ia bertemu dengan bapaknya yang sedang berjalan pulang.
“ Nak?” panggil bu Inem.
 “ Iya, ini saya bu,” jawab Bakti.
Bakti lantas mencium tangan ibunya. Anita, istrinya tengah menggendong Ardi kecil yang tertidur pulas. Ia hanya mengucap salam sebagai ganti mencium tangan pada  bu Inem. Pak Parto hanya terkekeh senang melihat anak, menantu, juga cucunya itu pulang ke kampung halaman. Sakti berjabat tangan dengan masnya itu lalu membantu menurunkan barang dari mobil.
Bu Inem merasa bahwa ia harus memasakkan sesuatu yang istimewa untuk besok. Semalaman ini ia terus berjibaku di dapur. Sakti yang merasa kasihan melihat ibunya bekerja sendirian, ia berinisiatif untuk membantu ibunya. Tapi ternyata ia tak bisa melakukan apapun.  Bu Inem menyuruhnya tidur saja. Dan dengan sopan Sakti minta maaf dan pamit tidur.
***
            Keesokan harinya, suasana sudah dimeriahkan dengan suara lucu Ardi. Ia ikut pergi ke kandang sapi bersama ayah dan kakeknya. Ia terlihat antusias melihat sapi yang jarang dilihatnya di kota. Ia berlarian memetik satu daun dan memberi makan sapi itu, ia melakukannya tanpa lelah berulang kali. Dan ia tertawa riang saat sapi itu menjulur-julurkan lidahnya untuk mencapai daun yang berikannya. Bakti dan pak Parto hanya tertawa menyaksikannya.
            Sakti tengah menyapu halaman depan. Ada tiga pohon manga yang besar di sana. Dan pohon-pohon ini yang selalu menggugurkan daunnya saat tertiup angin, membuat Sakti menyapunya berulang kali. Di dapur bu Inem di temani Anita memasak makanan untuk sarapan nanti. Sambil memasak mereka sidikit mengobrol tentang perkembangan si kecil Ardi yang memulai sekolahnya tahun ini.
“ Biaya pendaftaran TK saja sudah mahal, entah berapa juta lagi kalau ia sudah SD, SMP, SMA, dan kuliahnya nanti,” keluh Anita.
“ Yang sabar, pasti kalian bisa membiayai sekolahnya. Dulu ibu dan bapak hanya bertahan hidup dan menyekolahkan Bakti, Jaka, dan Sakti dari singkong. Dan Alhamdulillah, semua bisa sesukses sekarang ini.”
“ Saya juga cari sampingan bu, saya sungkan kalau mengandalkan penghasilan mas Bakti. Saya coba bisnis kecil-kecilan.”
“ Kenapa tidak mencari pekerjaan tetap yang sesuai bidangmu? Sayang kalau Sarjana Pendidikan hanya menganggur.”
“ Rencananya juga begitu, tapi saya belum tega meninggalkan Ardi sendirian. Toh, jadi PNS itu juga susah, pekerjaannya menguras banyak tenaga dan juga waktu. Nanti saja kalau Ardi sudah dewasa dan sudah bisa mandiri.”
“ Tapi apa orang tuamu setuju?”
“ Kata orang tua saya, semua terserah saya saja. Yang penting saya tetap menuruti kata-kata suami dan tidak melalaikan tugas sebagai istri dan ibu yang baik.”
“Begitu, kenapa tidak coba kue basah?”
“Kue basah kadaluarsanya hanya jangka pendek. Pelangan saya juga belum tetap. Hanya dari kalangan sendiri.”
“ Kenapa tidak dititipkan saja?”
“ Sudah pernah, tapi kalah dengan merk perusahaan besar. Oh iya, kenapa ibu tidak mengolah singkong menjadi kripik singkong. Kan nilai jualnya jadi tinggi?”
“ Tenaga ibu tidak kuat, nak.”
“ Bagaimana kalau saya yang buka usaha kripik singkong untuk memperkerjakan remaja yang masih menganggur di desa ini. Nanti hasilnya akan saya pasarkan ke kota. Bagaimana?”
“ Benar kamu mau membantu?”
“ Iya, bu.”
“ Tapi untuk ke kota, sepertinya jauh perjalanannya nak.”
“ Ibu tak usah khawatir. Saya sendiri yang akan menanganinya Dengan begini kan ibu dan bapak tak usah repot ke pasar menjual singkong. Dan dengan begini juga kita dapat membantu sesama kan, bu?”
“ Iya, ibu rasa begitu. Terimakasih ya, nak”?
“ Sama-sama, bu.”
***
            Di tengah-tengah kesibukkan semua orang yang ada di rumah, Jaka dan keluarga kecilnya telah datang. Jaka mengetuk pintu, tapi tak ada seorangpun yang menyadari kedatangan mereka. Akhirnya mereka duduk di beranda depan. Baru setelah Sakti akan membuang sampah ke halaman depan pintu baru terbuka. Sakti terkejut kalau kakaknya sudah ada di situ. Ia berlari masuk memanggil orang tuanya. Sekejab kemudian Sakti yang tadinya ke dalam keluar lagi, keluarnya Sakti ternyata diikuti oleh kedua orang tuanya. Mereka menyambut riang kedatangan keluarga kecil milik anak keduanya itu.
***
            Malam hari, tiga bersaudara duduk di pos kampling menggantikan tugas jaga malam pak Parto. Mereka tak tega membiarkan bapaknya terkena angin malam yang tidak baik bagi kesehatannyaSelama berjaga tentunya mereka tak diam saja. Mereka membicarakan perkerjaan mereka masing-masing. Saat Bakti mulai menyinggung tentang pekerjaan baru Sakti, Jaka mulai tertarik untuk menceritakan permasalahan yang sedang ia pikirkan saat ini. Jaka adalah seorang pegawai negeri sipil, tapi dia bukan tenaga pendidik hanya saja ia bekerja di pemerintahan. Ia merasa gerah dengan berbagai masalah yang harus dihadapinya setiap hari.
Banyak orang yang menuding bahwa kinerja pemerintah itu kurang baik. Mereka kadang malah mementingkan diri sendiri dan tak peduli keadaan para rakyatnya. Setiap hari ada saja pendemo yang pergi ke kantor tempatnya bekerja. Mereka biasanya mengadu tentang kesusahan yang mereka alami, selain itu mereka juga akan menyampaikan aspirasi mereka terhadap kinerja pemerintah. Belum lagi rencana kenaikan BBM yang membuat rakyat semakin menjerit.
“ Apa kau pernah berpikir kalau pemerintah itu kadang bersikap kejam pada kita?” tanyanya.
“ Maksudnya?” sela Bakti.
“ Begini mas, banyak masalah yang ada di negara ini. Tapi pemerintah tidak mau ambil pusing,” jawab Jaka.
“ Maksudnya seperti rencana kenaikan BBM ini?” sahut Sakti.
“ Betul,” jawab Jaka.
“ Maksudnya kalian berpikir kalau kinerja pemerintah itu kurang baik, begitu?” Tanya Bakti.
“ Iya, seperti itu.”
“ Contohnya masalah BBM tadi. Mereka seharusnya mencari solusinya. Kita tahu kalau BBM itu berasal dari fosil dan butuh waktu yang lama untuk memperbaruinya. Maka dari itu kita bisa mencari alternatif pengganti BBM yang murah dan ramah lingkungan. Tidak menggantipun tak apa yang penting dapat mengurangi penggunaan BBM,” jawab Bakti.
“ Kita bisa  menggunakan biogas, bioethanol, atau yang lainnya,” kata Sakti.
“ Bioethanol itu terbuat dari apa?” Tanya Bakti.
“ Bioethanol itu campuran bahan bakar yang terbuat dari sumber pati apa saja asalkan hasil akhirnya berupa ethanol. Seperti jagung, beras, sorgum, dan singkong. Kegunaannya adalah sebagai campuran untuk BBM dan bioethanol ini dapat menghemat penggunaan BBM itu sendiri,” jelas Jaka panjang lebar.
“ Oh, ternyata singkong juga bisa digunakan untuk membuat pengganti BBM.”
“ Bagaimana kalau kita mengembangkan kebun singkong bapak. Kita cari pekerja juga lahannya. Kita buat usaha bersama. Kita buat bioethanol yang memiliki daya jual yang tinggi. Dengan begini kita dapat  menjaga lingkungan,” usul Bakti.
“ Daripada sawah dijadikan perumahan lebih baik kita beli dan jadikan lahan yang ditanami singkong,” Bakti menambahkan.
 “ Kenapa tidak?”
Mereka lalu membuat kesepakatan tentang pembangunan usaha ini. Mereka saling membagi tugas, menyusun perencanaan, sistem kerja, produksi, dan pemasarannya. Tapi ada sesuatu hal yang ingin Jaka sampaikan agar kedua saudaranya tahu betapa rumitnya masalah ekonomi di negara kita ini.
 “ Dari masalah BBM tadi, besarnya subsidi BBM dan listrik mengakibatkan berkurangnya kemampuan pemerintah untuk membangun infrastruktur defisit anggaran ini harus ditutup dan salah satu caranya dengan mencari pinjaman atau hutang baru.
“ Pinjaman baru itu akan membuat masalah baru. Kapan kita akan melunasinya kalau kita malah menumpuk hutang. Kita tidak ingin utang terus meningkat dan akhirnya membebani anak-cucu. Yang kita ingin lakukan adalah menurunkan rasio utang yang ditanggung dari waktu ke waktu,” Sakti menambahkan.
***
Lima tahun kemudian,
            Desa Suka Maju mereupakan desa industri yang maju. Perusahaan olahan singkong milik keluarga pak Parto telah mendunia. Hampir semua lahan pertanian adalah milik keluarga pak Parto. Jaka telah memundurkan diri dari pekerjaannya dan memilih menjadi kepala desa di sana. Ia ingin mewujudkan apa yang menjadi cita-citanya sebagai pemimpin yang amanah dan bijaksana. Perusahaan makanan olahan dari singkong menjadi milik keluarga Sakti. Anita sendiri yang turun tangan dalam proses produksinya. Bakti dan keluarga mengelola perusahaan bioethanol. Bahan bakunya merupakan hasil tanam sendiri. Dan semua penduduk desa Suka Maju adalah pekerja mereka. Hal ini tentunya membawa dampak yang baik bagi lingkungan di sana juga pada perekaonomiannya. Tak ada lagi orang yang menganggur, lahan pertanian akan dimanfaatkan sebaik-baiknya bukan untuk perumahan, penggunaan BBM dapat dikurangi dengan penggunaan bioethanol, kotoran hewan ternak juiga bisa digunakan sebagai energi untuk mengelola perusahaan. Semua orang hidup dengan bahagia. Dan semua itu berawal dari singkong.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar