“Sepi
sekali,” satu kata terucap dari bibirku. Padahal disekelilingku ramai orang
berlalu-lalang. Kurasakan sepi ini hampir membunuhku, aku seperti orang gila
saat ini. Bagaimana tidak? Aku tadi bangun pukul 12.00 siang, mandi, lalu makan,
dan setelah itu aku menangis sendirian. Aku benar-benar merindukan kehidupanku
yang dulu. Sungguh bingung rasanya bila sendirian seperti ini. Aku rindu orang
tuaku, aku rindu sahabatku, aku rindu semua orang yang ada di sekitarku.
Di
penghujung tahun ini, aku tidak punya kesibukan yang harus kujalani. Aku
bekerja hanya pada saat hari efektif sekolah karena aku bekerja di kantin
sekolah. Selain itu, aku juga menjual mini pie buatanku sendiri. Libur panjang
membuatku tidak menjual pie, terlalu banyak orang berjualan kue sepanjang libur
natal dan tahun baru. Aku tidak tahu apa yang dapat aku lakukan. Aku tak mau
menggunakan uang yang susah payah kudapat hanya untuk memanjakan diri. Terpaksa
aku terus diam di rumah beberapa hari ini.
Iri
rasanya melihat orang bisa menyambut tahun baru bersama keluarga dan
teman-temannya. Pergi ke kota, ke tempat-tempat ramai seperti alun-alun kota,
pusat perbelanjaan, kantor-kantor publik, dan tempa-tempat umum lainnya
bersama-sama. Pasti banyak diskon, bonus, maupun layanan gratis di
tempat-tempat itu. Tetap saja aku tidak bisa. Tidak banyak orang yang aku
kenal, mereka hanya beberapa tetanggaku dan teman sekolah. Dan pasti mereka
telah sibuk masing-masing, aku tak mau mengusik kehidupan mereka.
Di
kota ini, aku hidup sendirian. Aku sudah tidak punya orang tua. Aku harus
meninggalkan kota kelahiranku hanya karena orang tuaku tidak meninggalkan cukup
warisan untuk aku meneruskan sekolah di tempat yang aku inginkan. Aku tak mampu
membayar biaya sekolahku yang sangat mahal, aku pindah dan menjual rumahku. Aku
terpaksa meninggalkan kehidupanku yang nyaman, meninggalkan para sahabatku,
meninggalkan sekolah elite itu, meninggalkan semua kenangan bersama orang
tuaku. Aku pindah ke kota kecil di
pinggiran provinsi, berharap menemukan kehidupan yang lebih baik.
Aku
sekarang hidup mandiri. Aku sudah punya rumah sendiri, mobil sendiri, dan aku
melakukan pekerjaanku sendiri walaupun hanya rumah dan mobil yang sederhana
yang kupunya. Uang yang aku dapatkan cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupku. Sungguh
berat menjalani hidup seperti ini.
Hampir
setiap hari aku menangis. Aku harus menangis sendiri dalam diam karena tak ada
lagi tempatku untuk mengadu. Dalam tangisku aku selalu berdoa agar ada orang
yang dapat menghapus rasa sepi ini dari hatiku dan semoga tak ada lagi orang
yang bernasib sama sepertiku, yang sama merasakan kesepian yang kurasakan.
Aku
kini terduduk di depan televisi. Tak ada satupun saluran TV yang kusukai, ku
pencet-pencet tombol remote berulang kali. Aku mulai bosan. Kucoba meraih pie
di hadapanku, kucicipi rasanya asin. Mungkin karena semalam aku membuatnya
sambil menangis. Aku rasa air mataku hampir habis, karena aku ingin menangis
tapi air mataku tak juga keluar. Apakah seperti ini orang terlalu sering
menangis? Ia ingin menangis tapi air matanya sudah habis.
Aku
berlari sambil memegang switerku. Tak sanggup rasanya terus bersedih, aku juga
ingin melampiaskan kemarahanku atas ketidakadilan dalam hidupku. Langkahku kian
jauh dari rumah, aku berbelok dan terus menyusuri jalan. Aku tak peduli dengan
orang yang aku tabrak, tak peduli orang melihatku seperti apa, aku terus
berjalan sampai aku tak sanggup lagi melangkahkan kakiku.
Ketika
itu di taman dekat tengah kota, seorang laki-laki duduk sendirian. Dia terlihat
begitu sedih. Entah apa yang jadi masalahnya? Aku jadi penasaran, aku ikuti
kemana dia pergi. Dia pergi ke sebuah rumah kecil, dia masuk. Aku tak mungkin
mengikutinya, jadi aku hanya mengintip lewat jendela. Dia tengah bicara dengan
anak kecil, dia seperti mau berpamitan. Kulihat wajahnya lebih tegar dari yang
tadi aku lihat. Anak kecil itu tersenyum dan memeluknya. Dia hendak keluar, segera
aku bersembunyi di balik pohon. Dia merasa diikuti, semoga dia tidak curiga.
Dia terus berjalan, dan aku tetap mengikutinya. Dia berbrlok ke sebuah kedai
kopi. Aku tetap mengawasinya dari toko bunga di seberang jalan. Aku membeli
setangkai bunga matahari hanya untuk basa-basi pada penjaga toko agar dia tidak
curiga.
Sekitar 15 menit
kemudian, dia keluar. Wajahnya lebih cerah dari yang aku lihat tadi. Dia keluar
bersama seorang laki-laki paruh baya, dia terlihat seperti dokter. Jasnya putih,
kemejanya rapi, dan dia membawa tas kecil seperti perlengkapan dokter.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar