Minggu, 25 Maret 2012

Our Promise In The School Gate ( Janji Kita Di Gerbang Sekolah)


Pagi ini, Sasha tak begitu bersemangat. Bukan hanya karena HATE MONDAY, tapi juga karena dia tengah sedih. Tak ada Indra, sobatnya, rasanya hari berjalan amat lama. Satu hari serasa satu windu. 
“Indra, kemana sich kamu? Jangan tinggalin aku sendiri. Aku nggak bakal  bisa menjalani semua tanpa kamu. Aku kangen banget sama kamu.” batinnya dalam hati sambil berjalan dengan lemah lesu ke sekolah.

            Sampai di gerbang sekolah, dia membayangkan perpisahannya dengan Indra 2 tahun yang lalu.
“Memang kita mengenal tak begitu lama, tapi aku merasa kamu sahabat terbaikku,” kata Indra.
“Terima kasih telah menganggap aku seperti itu. Kamu juga adalah seseorang paling ramah yang pernah aku temui,” jawab Nadia.
“Aku akan pergi. Ini aku berikan padamu kalung agar kamu selalu mengingat aku. Aku janji ketika kembali, kamu adalah orang pertama yang akan kutemui,” ucap Indra sungguh-sungguh.
“Aku janji akan selalu menjaga dan memakai kalung ini, In.” Shasa berikrar.


            Sasha dan Indra memang bersahabat dekat, walau mereka baru kenal kurang lebih setahun. Selalu bersama dalam suka dan duka. Begitu akrab sampai setiap orang iri dengan kedekatan mereka. Chemistrynya begitu kental, sampai jika salah seorang pergi satunya seperti kapal berlayar tanpa arah. Begitu berat pukulan yang harus dialami Sasha, sehingga semakin lama dia terpuruk, prestasi belajarnya menurun dan yang paling parah terkadang seperti orang linglung yang sering melamun.

“Sha, ini kalung kamu ketinggalan di meja makan,” terdengar suara Dino, teman kakaknya Sasha, sambil mengulurkan kalung berliontin mawar ke tangan.
           
“Terima kass….,” suara Sasha terputus ketika melihat mobil Avanza warna metalik mendarat di dekat gerbang.

            Ketika pintunya terbuka, ternyata Indra. Ya ampun, Sasha terkejut. Dirasanya kakinya lemas, tubuhnya bergetar, dan air matanya membendung. Dino berbalik melihat apa yang dilihat Sasha. Dino berpikir kenapa Sasha begitu shock melihat pemuda itu. Sasha berlari memeluk pemuda itu tanpa melihat apapun yang ada disekitarnya.

“Indra, aku kangen banget sama kamu,” kata Sasha dengan air mata  mengalir deras.
“Kenapa kau … kau … kau , achh!! Kamu sudah berubah, aku kecewa. Kamu bahkan nggak ingat janji kamu,” ucap Indra dengan kaku, melepaskan pelukan Sasha.
            “Aku nggak ngerti, apa yang kamu maksud?”

Tanpa peduli penjelasan Sasha, Indra bergegas masuk mobil lalu tancap gas. Sasha menangis sejadi-jadinya. Tiba-tiba Sasha terdiam dan pingsan. Dino memegang Sasha dan mengantarnya pulang. Semenjak ini Sasha belum tersadar selama tiga hari. Dia masuk rumah sakit. Semua kerabat, teman, dan keluarganya cemas.

            Suatu malam, tepatnya malam ketiga Sasha opname, ibunya baru mendapat kabar bahwa selama ini Indra, yang dikenal sebagai sahabat dekat Sasha study ke negeri kanguru (Australia). Samar-samar mendengar kata-kata tentang Indra, Sasha merespon memanggil-manggil Indra. Suaranya lemah, terputus-putus, mengandung rasa sedih. Air matanya meleleh. Melihat responnya, ibunya mengulang memanggil nama Indra. Perlahan Sasha bangun dan membuka mata.
“Bu, dimana Indra? Aku ingin minta maaf. Tolong panggil Indra, kata Sasha lirih.
            “Tapi, Indra sudah berangkat ke Australia lagi, Sha?”
            “Benarkah? Ibu, tolong telponkan aku padanya, aku ingin bicara.”
            “Baik akan ibu coba!”

            Dua hari berselang, Indra dan keluarganya tidak dapat dihubungi. Sasha mulai putus asa dan kesehatannya memburuk. Sasha ijin mau pergi jalan-jalan mencari udara segar. Sayang tak ada yang menemaninya. Sasha yang berjalan sekitar taman terpeleset. Kepalanya membentur lantai yang keras. Terjadi pendarahan serius. Tak ada yang tahu hal ini sampai suster melihatnya.

            Sasha digelendeng menuju ruang operasi. Dokter harus menangani pendarahan serius. Dua jam operasi berlangsung. Keluarganya beserta Indra cemas, ternyata Indra kembali ke Indonesia setelah mendengar kabar Sasha sakit parah. Operasi berjalan lancar, Sasha dipindahkan ke ruang ICU. Tapi dia belum sadar karena pengaruh obat bius.
            Sasha tersadar. Ia melihat Indra duduk di samping tempat tidurnya. Sasha tersenyum, Indra malah menitikkan air mata.

“Aku sudah tahu semuanya, maafkan aku salah paham denganmu”,     ucap Indra sedih.
“Aku harus minta maaf padamu. Aku yang salah melanggar janjiku”, jawab Sasha lirih.

            Mereka berbincang santai, melepas rindu yang selama dua tahun di pendam. Dengan baik Indra menawarkan apel pada Sasha. Indra keluar sejenak untuk mengupas apel. Saat kembali ia melihat Sasha tidur sambil tersenyum. Indra memeriksa tangan Sasha dingin, nadinya tak berdenyut dan tak bernafas lagi. Sasha meninggal dunia. Indra menangis diikuti tangisan keluarga Sasha pula. Selamat jalan, sahabatku tercinta. Semoga kau hidup tentram.

Tak perlu mengucap janji, janji sejati datang dari hati. Bawalah persahabatan sampai kau menutup mata.Pagi ini, Sasha tak begitu bersemangat. Bukan hanya karena HATE MONDAY, tapi juga karena dia tengah sedih. Tak ada Indra, sobatnya, rasanya hari berjalan amat lama. Satu hari serasa satu windu. 
“Indra, kemana sich kamu? Jangan tinggalin aku sendiri. Aku nggak bakal  bisa menjalani semua tanpa kamu. Aku kangen banget sama kamu.” batinnya dalam hati sambil berjalan dengan lemah lesu ke sekolah.

            Sampai di gerbang sekolah, dia membayangkan perpisahannya dengan Indra 2 tahun yang lalu.
“Memang kita mengenal tak begitu lama, tapi aku merasa kamu sahabat terbaikku,” kata Indra.
“Terima kasih telah menganggap aku seperti itu. Kamu juga adalah seseorang paling ramah yang pernah aku temui,” jawab Nadia.
“Aku akan pergi. Ini aku berikan padamu kalung agar kamu selalu mengingat aku. Aku janji ketika kembali, kamu adalah orang pertama yang akan kutemui,” ucap Indra sungguh-sungguh.
“Aku janji akan selalu menjaga dan memakai kalung ini, In.” Shasa berikrar.

            Sasha dan Indra memang bersahabat dekat, walau mereka baru kenal kurang lebih setahun. Selalu bersama dalam suka dan duka. Begitu akrab sampai setiap orang iri dengan kedekatan mereka. Chemistrynya begitu kental, sampai jika salah seorang pergi satunya seperti kapal berlayar tanpa arah. Begitu berat pukulan yang harus dialami Sasha, sehingga semakin lama dia terpuruk, prestasi belajarnya menurun dan yang paling parah terkadang seperti orang linglung yang sering melamun.

“Sha, ini kalung kamu ketinggalan di meja makan,” terdengar suara Dino, teman kakaknya Sasha, sambil mengulurkan kalung berliontin mawar ke tangan.
           
“Terima kass….,” suara Sasha terputus ketika melihat mobil Avanza warna metalik mendarat di dekat gerbang.

            Ketika pintunya terbuka, ternyata Indra. Ya ampun, Sasha terkejut. Dirasanya kakinya lemas, tubuhnya bergetar, dan air matanya membendung. Dino berbalik melihat apa yang dilihat Sasha. Dino berpikir kenapa Sasha begitu shock melihat pemuda itu. Sasha berlari memeluk pemuda itu tanpa melihat apapun yang ada disekitarnya.

“Indra, aku kangen banget sama kamu,” kata Sasha dengan air mata  mengalir deras.
“Kenapa kau … kau … kau , achh!! Kamu sudah berubah, aku kecewa. Kamu bahkan nggak ingat janji kamu,” ucap Indra dengan kaku, melepaskan pelukan Sasha.
            “Aku nggak ngerti, apa yang kamu maksud?”

Tanpa peduli penjelasan Sasha, Indra bergegas masuk mobil lalu tancap gas. Sasha menangis sejadi-jadinya. Tiba-tiba Sasha terdiam dan pingsan. Dino memegang Sasha dan mengantarnya pulang. Semenjak ini Sasha belum tersadar selama tiga hari. Dia masuk rumah sakit. Semua kerabat, teman, dan keluarganya cemas.

            Suatu malam, tepatnya malam ketiga Sasha opname, ibunya baru mendapat kabar bahwa selama ini Indra, yang dikenal sebagai sahabat dekat Sasha study ke negeri kanguru (Australia). Samar-samar mendengar kata-kata tentang Indra, Sasha merespon memanggil-manggil Indra. Suaranya lemah, terputus-putus, mengandung rasa sedih. Air matanya meleleh. Melihat responnya, ibunya mengulang memanggil nama Indra. Perlahan Sasha bangun dan membuka mata.
“Bu, dimana Indra? Aku ingin minta maaf. Tolong panggil Indra, kata Sasha lirih.
            “Tapi, Indra sudah berangkat ke Australia lagi, Sha?”
            “Benarkah? Ibu, tolong telponkan aku padanya, aku ingin bicara.”
            “Baik akan ibu coba!”

            Dua hari berselang, Indra dan keluarganya tidak dapat dihubungi. Sasha mulai putus asa dan kesehatannya memburuk. Sasha ijin mau pergi jalan-jalan mencari udara segar. Sayang tak ada yang menemaninya. Sasha yang berjalan sekitar taman terpeleset. Kepalanya membentur lantai yang keras. Terjadi pendarahan serius. Tak ada yang tahu hal ini sampai suster melihatnya.

            Sasha digelendeng menuju ruang operasi. Dokter harus menangani pendarahan serius. Dua jam operasi berlangsung. Keluarganya beserta Indra cemas, ternyata Indra kembali ke Indonesia setelah mendengar kabar Sasha sakit parah. Operasi berjalan lancar, Sasha dipindahkan ke ruang ICU. Tapi dia belum sadar karena pengaruh obat bius.
            Sasha tersadar. Ia melihat Indra duduk di samping tempat tidurnya. Sasha tersenyum, Indra malah menitikkan air mata.

“Aku sudah tahu semuanya, maafkan aku salah paham denganmu”,     ucap Indra sedih.
“Aku harus minta maaf padamu. Aku yang salah melanggar janjiku”, jawab Sasha lirih.

            Mereka berbincang santai, melepas rindu yang selama dua tahun di pendam. Dengan baik Indra menawarkan apel pada Sasha. Indra keluar sejenak untuk mengupas apel. Saat kembali ia melihat Sasha tidur sambil tersenyum. Indra memeriksa tangan Sasha dingin, nadinya tak berdenyut dan tak bernafas lagi. Sasha meninggal dunia. Indra menangis diikuti tangisan keluarga Sasha pula. Selamat jalan, sahabatku tercinta. Semoga kau hidup tentram.

Tak perlu mengucap janji, janji sejati datang dari hati. Bawalah persahabatan sampai kau menutup mata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar