Author :
Lee Hyohee (@Lousey_Han)
Tittle : Did you remember? [Part 1/4]
Main Cast : Lee Hyuk Jae, Han Ji Min
Other Cast : member Super Junior and family also other illustration cast
Genre :
Romance
Rating :
PG-13
Length :
Chaptered
Aku selalu merindukanmu…
Aku terus mencarimu…
Tapi apa kau masih
mengingatku?
Aku
menatap namja itu dari kejauhan, hatiku bergetar dan dadaku mulai sesak. Apakah
benar dia orang yang selama ini aku cari? Sepertinya ia sudah banyak berubah.
Saat
keluar dari gedung itu, ratusan kamera terus membidiknya. Dengan memakai
kacamata hitamnya, ia terus berjalan tanpa menghiraukan kamera-kamera itu.
Nampaknya ia kini benar-benar sudah menjadi Superstar, tapi apakah ia masih
mengingatku? Mollayo?
***
Musim semi 10 tahun yang lalu,
Aku
masih seorang siswi Geosang High School yang masih lugu. Aku selalu ke sekolah
menggunakan bus. Setiap hari aku selalu melakukan rutinitasku yang membosankan.
Sekolah-rumah, rumah-sekolah. Selalu saja begitu.
Di
bus, seperti biasanya aku mendengarkan musik sambil membaca buku. Waktu itu bus
itu lumayan sepi. Hanya ada dua orang ahjumma, seorang ahjussi, seorang namja,
dan tentu saja diriku sendiri. Dua orang ahjumma itu sibuk mengobrolkan anak
mereka yang masih sekolah. Mereka bicara dengan suara yang keras, bagiku itu
sangat berisik dan mengganggu. Bagaimana tidak? Aku yang menggunakan earphone
saja masih bisa mendengar percakapan mereka dengan jelas, apalagi namja atau
ahjussi itu yang duduk lumayan dekat dengan mereka. Ingin sekali rasanya untuk
menegur. Tapi apa daya anak kecil sepertiku ini menegur mereka yang sudah tua.
Pasti mereka malah balik memarahiku dengan alasan kalau diriku ini tidak sopan.
“ Ahjumma, bisa anda pelankan suara
anda? Maaf, tapi sepertinya teman saya ini sangat terganggu,” kata namja itu.
Mwo?
Teman? Sejak kapan aku jadi temannya. Dan bagaimana dia bisa tahu kalau aku
terganggu. Ah, lupakan. Yang penting kedua ahjumma tadi tidak terlalu berisik.
Tapi sepertinya aku harus berterima kasih pada namja itu.
“
Gamsahamnida,” kataku pelan padanya.
Ia malah membalas dengan senyuman.
***
Keesokan harinya,
Aku
buru-buru pulang. Hari ini hari peringatan kematian Appa. Aku tidak boleh
pulang terlambat. Setelah pelajaran aku memasukkan semua bukuku begitu saja ke
dalam tas. Tak peduli harus menatanya dulu. Aku menuju halte dengan setengah
berlari. Bus belum juga muncul. Aku melirik jam tanganku, sudah pukul empat
sore. Eomma pasti marah. Ah, menyebalkan!
Di bus
aku memilih tempat duduk paling dekat pintu agar aku bisa cepat turun. Namja
itu lagi, dia sedang duduk manis tepat di belakang tempat dudukku. Ia sedang
memasang earphone dan mulai menggerak-gerakkan tangannya. Kurasa dia ikut kelas
dance atau entahlah. Bukan urusanku. Aku membuka tas dan sedikit merapikan buku
yang sangat berantakan di dalam sini. Payah, sepertinya buku catatanku
tertinggal di kelas.
Satu,
dua, tiga halte sudah terlewati. Sebentar lagi aku akan turun. Aku bersiap di
depan pintu agar aku bisa langsung turun. Nampaknya namja itu juga turun
setelah aku turun dari bus. Biasanya dia masih di bus saat aku turun di sini.
Apa dia mau ke suatu tempat?
Aku
berjalan agak cepat dari biasanya. Namja itu masih ada di belakangku. Dia terus
mengikutiku. Aku curiga, aku mempercepat langkahku. Namja itu juga semakin
menambah kecepatannya. Apa maunya?
Aku
berlari, tapi dia berhasil menyusulku. Dia menepuk bahuku. Aku sungguh
terkejut. Aku berhenti dan mulai takut kalau dia punya niat jahat.
“ ya!
Berhentilah,”
“ ada
apa?”jawabku.
“ ini
milikmu kan?” dia mengulurkan sebuah buku.
“ Ini
buku catatanku.”
“ jaga
barang-barangmu hati-hati. Aku sudah ketinggalan bus karena ini.”
“ gamsahamnida, maaf aku harus
buru-buru. Sekali lagi terima kasih. Annyeong,” aku kabur begitu saja.
***
Hari ini tak terlalu beda dengan yang
sebelum-sebelumnya. Aku pulang naik bus lagi. Dan lagi-lagi ada namja itu di
sana. Aku mulai sadar ternyata sudah dua tahun ini kami selalu menggunakan bus
yang sama dan memiliki jam pulang yang sama. Entah ia sekolah dimana, aku tak
pernah melihatnya mengenakan seragam sekolah.
Hari
ini ia menyapaku dahulu. Aku juga balas menyapanya. Sekarang di bus sedikit
ramai, apa karena hari ini akhir pekan, ya? Aku berdiri tepat di tengah bus
yang juga dekat dengan pintu. Keadaan yang
yang berdesak-desakkan membuatku kadang hampir terjatuh. Dengan
tiba-tiba namja itu berdiri dari tempat duduknya dan menawarkan tempat duduknya
padaku.
“ Agassi, kau duduk saja. Biar aku yang
berdiri. Sepertinya kau kurang nyaman bila berdiri.”
Aku
terkejut. Lagi-lagi namja itu seolah tahu tentang yang aku mau. Kali ini aku
harus menolaknya. Aku jadi sungkan kalau ia terus membantuku.
“ Ah,
tidak perlu. Aku berdiri saja.”
“ jangan,
nanti kau lelah. Sudah untukmu saja.”
“
andweyo, aku di sini saja.”
“ Agassi,
jeongmal. Lebih baik kau duduk.”
“ tapi…”
“
sudahlah, biar aku yang berdiri.”
“ bukan
itu, tapi itu…”
Tempat
duduk itu sudah di duduki seseorang. Kami hanya bisa menelan ludah. Nasib kami
berakhir sama yaitu harus berdiri berdesakkan. Salah dia sendiri terlalu lama
meninggalkan tempat duduknya. Kalau sedang ramai seperti ini semua orang pasti
juga ingin duduk dengan nyaman. Hm, kurasa namja ini sungguh-sungguh pabbo.
Dia
berdiri tepat di sampingku, hal ini membuatku sedikit waspada. Walau kami
selalu bertemu, bukan berarti aku
mengenalnya. Apakah dia orang baik atau bukan aku tak tahu, bahkan namanya saja
aku tidak tahu.
“
Agassi?” panggilnya.
“ Nde?”
“ Kita
bahkan belum berkenalan. Hyukjae imnida,” ia mengulurkan tangannya.
“ Ji Min
imnida, Han Ji Min” aku menjabat tangannya.
Tiba-tiba
bus mengerem mendadak. Aku pun jatuh
dalam pelukannya. Ommo! Secara spontan dia menahanku dan melingkarkan tangannya
tepat di bahuku. Kami terdiam beberapa detik dan saling menatap. Bus berjalan
lagi, dan aku pun mencoba menegakkan tubuhku.
“
Gamsahamnida,” ucapku padanya atau yang lebih tepatnya gumamku.
Entah ia
bisa mendengarnya atau tidak. Pikiranku
sedang kacau. Perasaanku jadi tidak menentu. Untuk kesekian kalinya ia
terus menolongku.
“
gwencanayo?” tanyanya.
Aku
mengangguk. Aku bahkan tak berani mengangkat wajah dan menatapnya. Aku malu
sekali. Untungnya, pemberhentian busku tidak jauh lagi. Aku mengucap salam lalu
turun.
Di
kamar, aku sedang berbaring santai. Aku tidak memiliki tugas untuk besok. Jadi
aku bisa sedikit istirahat. Aku mulai berpikir kapan terakhir kali aku
bersantai seperti ini. Setiap malam aku selalu belajar. Sungguh melelahkan
memang.
Tiba-tiba
terlintas bayangan namja itu, hm maksudku Hyukjae. Aku sudah gila sekarang.
Kenapa bayangan itu tak bisa hilang dari otakku? Aku coba memejamkan mata
berharap bayangannya akan menghilang. Tapi masih saja tak berhasil. Aku terus
mencoba berbagai cara tapi tak juga berhasil. Ottokhe???
Baiklah
aku pasrah saja, aku mulai terbiasa dengan bayang-bayang wajahnya. Aku lalu
berpikir tentangnya. Menurutku wajahnya tak begitu tampan, kakak kelasku jauh
lebih tampan darinya. Tubuhnya tak terlalu tinggi, setidaknya ia punya tinggi
rata-rata namja di Korea pada umumnya. Tubuhnya kurus, tapi ia punya warna
kulit yang bagus. Gusinya itu sangat mengemaskan, apalagi saat ia tersenyum.
Hm, kenapa aku jadi terus mengomentarinya? Ah, pabbo.
Aku
rasa aku mulai menyukainya. Aku mulai tersenyum setiap melihat bayangnya. Sihir
apa yang ia lakukan padaku hingga aku bisa begitu menyukainya.
***
Hari
ini aku memulai pagiku dengan senyuman. Semalam aku bermimpi indah. Aku
memimpikan Hyukjae. Haha, sungguh aku telah jatuh cinta padanya.
Di
sekolah pun aku tidak bisa fokus. Yang ada dipikiranku adalah segera pulang dan
bertemu Hyukjae di bus. Aku mengeluarkan buku catatanku untuk mencatat
pelajaran dari guru. Aku menjatuhkan notebookku. Aku memungutnya dan iseng
untuk membukanya saja. Ah, sial! Aku lupa, nanti ada pertemuan grup Art. Aku
tak bisa pulang lebih awal seperti biasanya. Hummm, padahal aku sudah
merindukan Hyukjae. Hyukie ah, bogoshipeoyo.
Di galeri Art,
“ untuk minggu depan kita mulai
kegiatan kita lagi. Ujian sudah berlalu, jadi kita harus aktif untuk kegiatan
Art. Arraseo?”
“ nde, sunbaenim,” sahut kami
bersamaan.
“ Ada selebaran untuk kalian isi.
Minggu depan kita berkumpul lagi di jam yang sama. Dan satu hal lagi, pilihan
itu akan jadi grup kalian dua tahun mendatang. Jadi pikirkan matang-matang.”
Hari
sudah mulai gelap ketika aku baru keluar dari sekolah. Aku berjalan sendirian
melalui sebuah jalan yang kecil. Sepi sekali di sini, angin juga berembus
kencang. Suasana jadi menakutkan. Ah, aku takut. Aku paling takut dengan
hal-hal yang menyeramkan apa lagi hantu.
Samar-samar
aku mendengar bunyi langkah kaki. Abaikan saja Ji Min, itu hanya halusinasimu
saja. Tapi bunyi itu semakin terdengar jelas, semakin mendekat, semakin dekat,
semakin dekat dan hantu itu memanggilku.
“ Ya!”
“ Mwo?
Hantu itu memanggilku?”
Aku
berlari sekencang aku bisa. Aku berbelok ke sebuah gang, aku berlari lagi dan
berbelok entah kemana. Mati aku! Aku tak tahu dimana ini. Ini, ini jalan buntu.
Lalu apa yang harus aku lakukan?
Tak
terasa aku mulai menangis, badanku basah penuh keringat. Gelap sekali di sini,
aku butuh cahaya. Aku tak bisa melihat dengan jelas. Ah, ottokhe?
Aku
sungguh ketakutan. Aku mulai menangis sesegukkan. Suara orang melangkah lagi,
aku sudah mati lemas. Tak ada yang bisa kulakukan selain menangis dan pasrah.
“ ya!”
seru suara itu lagi.
“
nuguseyo?”
“ ini
aku.”
“ Nugu?”
Langkah
itu sudah sangat dekat dan tiba tepat di hadapanku. Ia ternyata manusia. Apa
yang dia inginkan? Apa dia punya niat jahat? Oh Tuhan, tolong aku.
“
Uljimma, ini aku.”
“ hiks,
hiks,…. Nugu?” tanyaku untuk kesekian kalinya sambil terisak.
“
Hyukjae, ini aku Hyukjae.”
Tanpa
pikir panjang, aku langsung memeluknya. Aku benar-benar ketakutan. Entah apa
jadinya kalau tidak ada dia.
“ Aku
takut.”
“ Takut
apa?”
“ Aku
takut.”
Aku
menenggelamkan wajahku ke dalam dadanya. Tangisku semakin pecah saat itu.
Perlahan dia juga membalas pelukanku. Tangannya menepuk punggungku perlahan, ia
berusaha menenangkanku. Jujur aku tersanjung saat itu. Aku merasa sangat nyaman
dalam pelukkannya. Mungkin aku benar-benar mencintainya. Aku tak peduli entah
dia membalas cintaku atau tidak, yang jelas aku sangat mencintainya.
“ sudah,
tenangkan dirimu. Mianhe.”
“
mworago? Maaf untuk apa?”
“ maaf sudah membuatmu ketakutan. Aku
sungguh tidak tahu kalau begini jadinya.”
“ jadi?”
“ iya, melihatmu tak juga datang ke
halte aku berniat menghampirimu ke Geosang. Dari tadi menunggumu di luar
gerbang. Aku bahkan sempat tertidur sebentar di samping pagar taman Geosang.
Saat aku bangun ternyata kau sudah keluar dari sana. Aku coba mengikutimu.”
“ lalu, kenapa tidak memanggilku?”
“ Aku tadi sudah memanggilmu. Tapi saat
aku mau menyusulmu, kau justru lari. Aku terus mengejarmu, tapi aku kehilangan
jejakmu. Tiba-tiba aku mendengar suara yeoja menangis. Sempat kukira kau hantu.
Ternyata itu kau.”
“ Kau yang kukira hantu. Pabbo! Aku
membencimu. Aku benci,” kataku terus memukul-mukulnya.
“ Mianhe?”
“ Shireo, kau jahat.”
“ sudahlah, aku pergi kalau begitu.”
“ Andweyo, jangan pergi. Aku takut.”
Kami
berjalan bergandengan sampai ke jalan raya. Dia mau mengantarku pulang. kami
naik bus bersama-sama. Aku sudah sangat lelah, aku juga mengantuk. Sayang tak
ada tempat yang kosong. Aku hanya bisa berdiri sambil bergantung, aku mulai
terkantuk-kantuk saat itu. Saat aku mulai akan jatuh, dengan baik hati dia mau
menjagaku padahal aku tahu kalau saat itu ia sama lelahnya denganku.
Dia
benar-benar mengantarkanku sampai rumah. Eomma memarahiku di hadapan Hyukjae.
Melihat aku bersama seorang namja, eomma
semakin marah dan bahkan memukuliku.
“ dosa apa aku punya putri sepertimu?
Ha? Dari mana saja kau? Apa yang kau lakukan?” kata Eomma sambil terus
memukulku.
“
ahjumma, sudah jangan pukuli dia lagi. Dia tadi tersesat.”
“ mwo? Tersesat? Kau, apa kau tahu
berapa umurmu? Sudah besar masih saja tersesat.”
Ah,
Hyukjae, kau harusnya punya alasan yang lebih kreatif lagi. Aku dimarahi juga
karenamu, kan?
“ Eomma,
sakit. Jangan pukul di tempat yang sama. Ouh, au. Sakit.”
“ Nak,
siapa namamu?” Tanya eomma pada Hyukjae.
“ Lee
Hyukjae imnida.”
“
Geumapshimnida, lebih baik kau juga pulang.”
“ Nde,
ahjumma. Aku pamit. Annyeong,”
Au!
Sebuah pukulan lagi-lagi eomma berikan padaku. Sungguh kejamnya eommaku ini.
Andaikan Appa masih hidup, eomma takkan berani memukuliku seperti ini. Appa?
Apa kau bisa melihat kami? Eomma semakin kejam padaku. Tak lama kemudian Eomma
menjewer telingaku sambil memaksaku masuk.
***
Dan
semenjak itulah aku mulai mengenalnya. Aku baru tahu kalau dia juga seumuran
denganku. Dia bersekolah di HwahSoh High School. Tapi ia juga menjalani trainee
di SM Entertaiment. Sudah dua tahun ia memulai trainee dan tinggal di asrama.
Ia seorang yang sangat menghibur. Setiap hari aku selalu tertawa karenanya. Dan
juga akhir-akhir ini ia sedang mengasah bakat dancenya. Ia bercita-cita akan
jadi bintang yang sukses di masa depan. Dan aku doakan ia bisa mewujudkannya.
Setiap
hari kami pulang bersama, dia selalu terlebih dulu menjemputku di sekolah. Kami
jadi sering keluar bersama, ia juga sering ke rumahku. Eomma sekarang justru
menyukainya. Eomma seakan lupa siapa yang jadi anak kandungnya. Hahaha, tak
apalah itu juga lebih baik. Jadi mereka bisa lebih akrab lagi saat Hyukjae jadi
menantunya.
Sekarang
kami berjalan di dekat sungai Han. Hari ini hari Minggu, ia tak punya jadwal
latihan jadi ia mengajakku untuk jalan-jalan.
“
Min ah?”
“
Nde, Hyukie?”
“
jangan terlalu sibuk dengan kamera barumu itu. Aku bisa cemburu.”
“
mwo? Cemburu? Ada-ada saja kau ini, mana bisa cemburu dengan kamera?”
“
lupakan, teruslah kau memotret.”
“
ya, kau marah ya? Apa kau kesal padaku?”
Dia
mengacuhkanku dan buang muka. Sepertinya ia benar-benar kesal. Oh ya, aku akhirnya memilih grup photoghaphy
sebagai grup ekstrakurikulerku di sekolah. Sebelumnya aku sempat bingung, tapi
Hyukie yang menyarankannya padaku. Dan TA DA! Aku sekarang sudah handal
memegang kamera.
Aku harus
berusaha membujuknya agar ia tidak marah. Kebetulan aku melihat ada penjual es
krim di sana. Aku menarik tangannya untuk kuajak beli es krim.
“ Ya! Jangan menarikku seperti ini.
Orang-orang mulai memperhatikan kita,”
dia mencoba protes.
“ Sudah, ikut saja.”
Sampai ke
tempat penjual es krim itu, dia jadi tersenyum. Sepertinya dia paham dengan
maksudku. Aku membelikannya es krim sebagai permintaan maafku.
“ kau
boleh pesan apapun yang kau mau, aku yang traktir.”
“
jeongmal?”
“ hm,
tentu. Tapi dengan satu syarat, kau tidak boleh marah lagi ya?”
“
baiklah,” dia lalu mengacak-acak rambutku pelan.
“ aku
pesan yang strawberry.”
“ aku
yang coklat saja. Ya! Hyukie, kenapa kau sangat menyukai strawberry?”
“ molla,
hanya saja aku suka. Apalagi susu rasa strawberry.”
“ kalau
begitu setelah kita menikah kita buka kedai susu strawberry saja.”
“ mwo?
Menikah? Aish, anak ini. Sudah memikirkan tentang pernikahan.”
“ ini,”
penjual itu mengulurkan dua es krim.
“ berapa
ahjumma?” tanyaku.
“ ini
gratis, karena kalian terlihat sangat manis. Apa kalian pacaran?”
“ anniyo,
ahjumma. Kami tidak pacaran,” hyukie berusaha membantahnya.
“
entahlah, kalian mengingatkanku pada masa mudaku.”
“
gamsahamnida, ahjumma.”
Sejak
kapan aku jadi tak tahu malu seperti ini. Tak apalah, sebenarnya aku serius.
Ternyata Hyukjae malah menyangkal kalau kami ini terlihat seperti pasangan.
Mungkin dia memang tidak menyukaiku. Mungkin dia hanya menganggapku sebagai
teman. Rasanya sedikit kecewa memang.
Aku
tak tahu kenapa aku menyukainya. Atau seberapa besar aku mencintainya. Yang
jelas sepertinya aku tak bisa hidup jika sehari tak bertemu dengannya. Sebuah
colekan es krim di pipiku membuatku tersadar dari lamunanku. Rupanya ia mau mau
bermain, ya? Aku mengejarnya, tapi dia malah menghilang. Hm, dengan kepasrahan
aku duduk di bangku taman di sana.
Tiba-tiba
ia mengejutkanku dengan membawa sebuah kue ulang tahun dan sebuah boneka
beruang yang besar.
“
Saengil chukae hamnida, Ji Min ah.”
“ jeongmal? Hyukie, bagaimana kau bisa
tahu? Aku bahkan tidak pernah bilang padamu tentang hari ulang tahunku.”
Aku
dibuatnya terharu. Eomma, ini pasti ulah eomma yang memberitahunya hari ulang
tahunku. Ini sangat menyentuh, seumur hidupku baru kali ini aku merayakan ulang
tahun. Appa melarangku berulang tahun karena Appa tidak mau membuat teman
sebayaku iri.
Kami
memang hidup dalam golongan orang menengah ke bawah yang jauh dari hal-hal yang
menghambur-hamburkan uang. Appa seorang guru yang mengajar sekolah dasar, dan
setelah ia meninggal tiga tahun yang lalu. Jadi keluarga kami memiliki uang
tunjangan. Jumlahnya memang tak seberapa, karena itu eomma jadi sangat bekerja keras untuk
membiayai sekolahku. Eomma bekerja sebagai cleaning servise di perusahaan
Sendbill milik keluarga Lee. Eomma juga jadi pembantu di rumah keluarga
pemiliknya. Ia bekerja khusus untuk mengurus kedua putra Tuan Lee. Jadi eomma
sudah menjadi pengasuh di sana dari aku kecil. Aku sendiri merasa tak berguna
karena aku justru tidak bisa melakukan apapun kecuali belajar dengan rajin dan
berusaha membuat eomma bangga.
Setahuku
juga, keluarga Hyukjae juga hampir sama sepertiku. Aku jadi merasa sungkan
menerima hadiah darinya ini. Ia pasti jauh hari menabung untuk semua ini.
Kejutan darinya ternyata bukan hanya sampai di situ. Ia juga menampilkan
pertunjukkan jalanan setelah perayaan ulang tahunku itu. Ia mengajak
teman-temannya seperti Jungsoo Oppa dan Xiah Junsu untuk menampilkan sesuatu
yang menarik. Kurasa suara Hyukjae tak lebih bagus dari dua orang temannya.
Tapi dalam hal dance, Hyukjaelah yang nomor satu.
***
Setahun telah berlalu,
Kini
aku sudah menginjak kelas tiga kelas menengah. Dan yang paling mengejutkan
adalah aku jadi ketua grup Art. Aku jadi sering berkonsultasi pada Hyukjae
untuk memecahkan masalahku. Kadang ia juga malah berlatih dance dengan grup
dance di sekolahku.
Sekitar
tengah malam pada tanggal 14 Februari atau lebih tepatnya hari Valentine, ia
menyatakan cintanya padaku dan memintaku untuk jadi pacarnya. Tanpa basa-basi aku
langsung menerimanya. Kau tahu kan kalau aku sudah lama menyukainya, jadi buat
apa berbasa-basi kalau jawabnya memang iya.
Ia mengeluarkan kotak dari sakunya. Aku
terkejut ketika melihat ada cincin di dalamnya. Cincin berwarna putih yang
sangat mengagumkan. Sangat cantik.
“ Kau suka?”
“ nde,” aku tersenyum padanya.
“
Maaf, ini bukan emas putih murni. Aku hanya mampu memberimu yang seperti ini.”
“
Tak apa Hyukie, ini sangat indah. Gomawo.”
“
Apa tidak apa-apa? Ini hanya radiant silver ( bahasa terjemahan dari asal kata ‘Eunhyuk’ ), benar kau mau
menerimanya?”
“
iya Hyukie, kapan aku menuntut sesuatu yang lebih darimu. Ini sudah cukup, aku
menyukainya. Jeongmal gomawo.”
Ia tersenyum lega, aku langsung meraih
tangannya. Dan memegangnya erat. Kurasa ia harus mengerti kalau aku sudah
sangat menghargai pemberiannya. Hari demi hari kami isi dengan penuh keceriaan.
Banyak cerita indah dan penuh kenangan yang mewarnainya.
Di tahun ini juga aku diperkenalkan dengan keluarganya.
Keluarganya sederhana tapi sangat ramah. Ada Appa dan Eommanya, juga seorang
noonanya yang bernama Lee Soora. Soora unnie sering mengajakku bicara. Dia
sudah seperti unnieku sendiri. Ia banyak bercerita tentang namjachinguku itu.
Eonni
bilang padaku bahwa aku harus menjaga Hyukie dengan baik, aku tidak boleh
meninggalkannya. Dia sering kali mengalami situasi sulit. Aku harus selalu
berada di sampingnya untuk terus memberinya semangat. Dia berhati lembut dan
mudah menangis. Ia bahkan tidak tega menyakiti orang lain. Kadang ia punya
tingkah laku yang pabbo, tapi aku harap maklum.
Satu
hal yang membuatnya bertahan untuk berusaha keras sampai saat ini, ia hanya
ingin membahagiakan keluarganya. Tenang saja eonni, aku pasti melakukan yang
terbaik yang bisa kulakukan untuk Hyukjae. Aku akan berusaha menjadi
yeojachingu yang baik untuknya, dan akan terus menemaninya di segala suasana.
Soo Ra Eonni, Hyukjae, kalian harus percaya padaku.
Sejauh
ini, selama aku mengenalnya. Aku belum pernah melihat Hyukjae sedih atau
terluka. Yang kutahu darinya, ia adalah seorang yang periang, selalu
bersemangat, dan sangat lucu. Kadang ia terlihat lelah saat sepulang latihan.
Tapi saat di hadapanku ia selalu mencoba tersenyum.
***
Dua tahun setelah aku menjadi
yeojachingunya,
Ini tahun
yang paling berat yang pernah kami alami. Aku harus melewati ujian kelulusan
dan ujian masuk universitas. Hyukjae terus berlatih untuk mengejar
cita-citanya. Ia sering berangkat pagi buta dan pulang larut malam. Ia jadi
jarang pulang ke rumahnya sendiri. Ia juga tak pernah lagi mampir untuk
menjenguk Eommaku. Di bus yang penuh kenangan itu aku selalu duduk sendiri. Tak
ada Hyukjae, semua serasa kosong. Aku benar-benar merasa kesepian tanpanya. Aku
rindu saat-saat ia selalu bersamaku.
“ Mungkin sekarang kau benar-benar
sudah melupakanku. Mungkin semua karena
waktu, yang mengubah diriku maupun dirimu, Hyukjae.”
***
Kini roda
kehidupanku mulai berputar. Takdir merubah segalanya. Aku kehilangan seseorang
yang paling kusayangi di dunia ini. Eomma meninggal saat sempat dua hari dirawat
di rumah sakit.
Saat itu
aku mencoba menghubungi Hyukjae, masih tak ada kabar darinya. Aku mencoba
mencari alamat asramanya tapi aku tidak menemukannya. Kucari dirinya di SME,
tapi aku malah diusir dengan kasar oleh petugas di sana. Mereka kira aku fans
fanatik yang mencoba bertemu dengan beberapa idola dari SME. Cih, maaf saja aku
bukanlah tipe orang yang seperti itu.
Aku
pulang dengan membawa rasa putus asa yang mendalam. Di rumah aku menemukan beberapa kejanggalan, pagar
rumah terbuka begitu saja. Biasanya eomma selalu menutupnya rapat. Setelah aku
masuk ke dalam, aku mencium bau hangus. Aku berlari ke dapur. Ternyata eomma
membiarkan pancinya sampai gosong.
“ eomma,
eomma, kau dimana? Eomma, kenapa apinya kau biarkan menyala?”
Aku terus
memanggilnya tapi tak ada tanggapan. Ia mencari eomma ke berbagai sudut ruang
di rumah. Akhirnya kutemukan eomma tergeletak di taman belakang rumah. Aku
segera mencari bantuan dan membawa eomma ke rumah sakit. Kondisi eomma kritis.
Dua jam
setelah dokter memeriksa, eomma didiagnosa menderita komplikasi yang cukup
serius. Ada pembekuan darah di otaknya yang sudah lama ia derita. Eomma tak
pernah bercerita padaku. Apa mungkin karena aku terlalu sibuk dengan Hyukjae?
Sampai aku tak menghiraukan keadaan eomma? Aku merasa sangat menyesal. Aku tak
pernah menanggapi saat eomma bilang ia sakit kepala. Ku kira itu hanya
bisa-bisanya eomma untuk membujukku keluar kamar untuk memijatnya. Ternyata ia
benar-benar sakit saat itu.
Aku anak
durhaka. Eomma sakit karena aku. Eomma terlalu bekerja keras juga karena aku.
Oh Tuhan! Apa kau sedang menghukumku? Bila aku melepaskan Hyukjae apa Kau akan
menyembuhkan Eommaku?
Dua hari
eomma tetap tak sadarkan diri. Hari itu,
aku membolos mata kuliah hanya untuk menemani eomma. Entah kenapa aku sangat
ingin bersamanya saat itu juga. Sampai larut malam aku terus duduk di bangku
samping tempat tidurnya. Dengan mata yang sudah sangat mengantuk aku mencoba
terus terjaga untuk eomma. Entah atas dorongan apa aku ingin mengelus rambut
eomma yang sudah memutih. Aku membelainya, aku lalu menatap wajahnya. Kerutan
itu, kerutan dari wajah cantiknya yang mulai dimakan usia. Aku baru sadar
banyak waktu bahagia kami yang terbuang sia-sia.
Aku mulai
takut tak bisa lagi melihat eomma tersenyum, aku mulai takut tak bisa mendengar
eomma memarahiku, aku juga mulai takut tak bisa melihat eomma membuka mata
lagi. Aku mulai menangis, aku raih tangan kanan eomma yang sedang diinfus.
“
Dingin.”
Tangan
eomma dingin. Aku coba melihat kembang kempis nafasnya. Tapi sudah tidak ada.
Eomma sudah tidak bernafas. Ku pegang urat nadinya, sudah tidak berdenyut.
“
Eomma!!!!!!!”
***
Jum’at
pagi, gerimis turun di bukit kecil daerah Mokpo. Aku baru saja sampai
untuk menghadiri upacara penghormatan
terakhir eommaku di sana. Appa berasal dari Mokpo, dulu ia juga dimakamkan di
sana. Aku putuskan juga memakamkan eomma di samping Appa. Setidaknya agar
mereka bisa bersama walau mereka sudah tidak ada di dunia ini lagi.
Keluarga
besar Tuan Lee juga hadir pada pemakaman eomma pagi ini. Istri, dan kedua
putranya juga ikut hadir. Putra sulungnya yang bernama Lee Sungmin bahkan
sangat sedih atas kematian eommaku. Seingatku juga eomma sangat menyayangi anak
asuhannya itu. Aku malu bahkan aku tak bisa mengeluarkan air mataku lagi. Aku
sekarang benar-benar terlihat seperti anak yang tak berbakti.
Mereka
pulang setelah matahari sudah naik ke atas cakrawala. Aku sendiri masih di
sini, menemani Appa dan Eommaku. Mungkin aku takkan bisa sering ke Mokpo. Aku
pasti akan merindukan mereka. Sampai hari menjelang sore aku masih tetap di
sana. Tapi gerimis harus membubarkan pertemuan keluargaku ini.
“ Han Dongjun, Jang Hyojoo. Appa dan
eommaku tercinta. Aku harap kalian tenang di sana. Jangan khawatirkan aku, aku
pasti bisa hidup sendiri di dunia ini. Aku harap kalian bisa melihatku sukses
di masa depan. Aku berjanji akan terus berusaha yang terbaik untuk kalian.”
Aku
menaruh buket bunga warna ungu di atas
makam mereka masing-masing. Aku memberi hormat lalu pergi meninggalkan tempat
itu. Aku berjalan menuruni bukit itu. Gerimis membuat tanah lama-lama semakin
basah. Bukan hanya tanahnya, tapi bajuku ternyata juga sudah basah karena
tetesan gerimis yang turun semakin deras dan menjadi hujan. Aku berlari
sebisaku untuk mencari tempat berteduh.
Seorang
ahjussi yang membawa payung hitam mendekatiku. Sepertinya aku pernah
melihatnya. Aku berusaha mengingatnya. Masa kecilku dulu, aku pernah tinggal di
sini.
“
Ahjussi?”
Ia
tersenyum. “ kau sudah besar rupanya.”
***
Hari itu,
hujan tak berhenti turun. Hal ini membuatku tidak bisa kembali ke Seoul.
Ahjussi menyuruhku untuk menginap. Ahjussi tadi adalah teman appaku. Dia Lee
ahjussi. Bukan Tuan Lee pemilik perusahaan besar itu, tapi hanya nama marga
mereka sama. Aku dulu lumayan akrab dengan kedua anaknya. Kami teman sepermainan.
Kalau tidak salah nama anaknya Lee Donghwa dan Lee Donghae. Donghwa Oppa lebih
tua dua tahun dariku. Tapi Donghae seumuran denganku.
Ahjumma
meminjamiku pakaian untuk ganti. Ahjumma tidak punya anak perempuan. Jadi mau
tidak mau aku mengenakan pakaian milik Donghae. Sedikit kebesaran memang tapi
daripada tidak sama sekali. Hm, namja itu sekarang kemana ya? Terakhir kali aku
bertemu dengannya adalah saat upacara pemakaman Appa, itu sudah enam tahun.
Keluarga
Lee mengajakku makan malam. Lee ahjumma sudah memasak makanan yang istimewa. Ia
sengaja memesan daging sapi khusus untukku. Donghwa Oppa sempat protes karena
ahjumma bahkan tidak pernah memasak khusus untuknya.
“ Eomma, kau bahkan tidak pernah masak
makanan kesukaanku. Ya! Ji Min ssi, aku iri padamu.”
“ jangan bicara seperti itu di depan
tamu,” ahjumma menegurnya.
“ Haha, sudah sudah. Kita harus
menghibur Ji Min. Ini hari-hari yang sulit baginya. Ji Min, jangan sedih.
Jangan sungkan sering datang kemari. Anggaplah kami keluargamu sendiri.”
“ nde, ahjussi. Aku sangat berterima
kasih pada kalian. Lee ahjussi, kemana Donghae? Aku tak melihatnya.”
“ Oh, dia. Aku lupa belum
memberitahumu. Dia sekarang sedang menjalani trainee di Seoul. Sudah tiga tahun
ini tinggal di sana. Yah, aku sendiri yang menyuruhnya jadi penyanyi. Aku harap
ia bisa jadi bintang kelak.”
“ di Seoul, ahjussi? Dimana ia diterima
kalau aku boleh tahu?”
“ Di SME.”
Aku
tersentak dengan jawaban ahjussi. Aku tersedak nasi yang sedang aku kunyah.
Oppa langsung mengulurkan segelas air padaku. Kenapa harus di SME? Hal ini jadi
mengingatkanku kembali pada Hyukjae.
“ Ah,
wae? Ada apa denganmu? Apa ada yang salah?”
“ tidak
ahjussi, hanya saja aku juga punya… teman yang sedang trainee di sana.”
“ yeoja?
Namja? Siapa namanya?” tanya Donghwa Oppa penasaran.
“ namja,
Oppa. Namanya Lee Hyukjae.”
“
kapan-kapan aku akan menanyakannya pada Donghae. Siapa tahu dia kenal.”
***
Seminggu
kemudian, ahjussi datang ke Seoul bersama Donghwa Oppa. Mereka ingin menengok
keadaan Donghae. Sebelum ke asrama, ahjussi pergi ke rumahku. Mereka mengajakku
pergi bersama. Tapi aku tidak bisa menolak ajakan itu. Aku menurut saja ikut
bersama mereka ke asrama.
Aku ragu
bila nantinya bertemu Hyukjae di sana. Entah apa yang nanti akan kukatakan. Dan
firasatku itu benar, saat kami sampai di sana yang membuka pintu adalah
Hyukjae. Ia sangat terkejut melihatku di sana. Ahjussi dan Donghae mengobrol di
ruang tamu. Dan Hyukjae langsung membawaku masuk ke kamarnya.
“ Ji Min
ah, apa yang kau lakukan di sini?”
“ Aku
hanya berkunjung.”
“ Apa kau
datang bersama Lee ahjussi?”
“ Nde,”
aku mulai merasa muak dengannya.
“ Kau
mengenalnya?”
“ Nde.
Ya! Hyukjae! Kemana saja kau? Aku mencarimu.”
“ Mianhe,
aku sangat sibuk akhir-akhir ini. Ada apa?”
“ anni.”
"
bogoshipeoyo Ji Min ah.”
“ ah nde,
nado.”
Ia meraih
tanganku. Tapi semua terasa hambar. Rinduku padanya sirna semua. Aku ingin
menceritakan semua yang aku alami tanpanya. Tapi aku tak mampu mengatakannya
karena aku tidak mau menambah bebannya. Cukup aku simpan sendiri. Ia merasa
bersalahpun tidak akan mengembalikan Eomma.
Kami
hanya bicara sebentar lalu aku pamit. Tapi sebelum aku pulang ia memberiku
sebuah nomor telepon. Ia bilang aku boleh menghubunginya kapan saja. Sepulang
dari sana aku tak bisa tidur. Aku menatap secarik kertas yang bertuliskan
nomor-nomor itu. Aku menghela nafas panjang. Buat apa ia memberiku ini.
Sepertinya ia saja sudah tidak memperdulikanku. Aku meremas kertas itu dan asal
membuangnya. Aku meraba-raba meja kecil di samping tempat tidurku. Aku
mengambil sebuah kotak kecil di situ.
Aku
pandangi cincin yang melingkar di jari manisku. Rasanya masih kemarin Hyukjae
memintaku jadi yeojachingunya. Tapi setelah apa yang kujalani selama ini, aku
jadi sadar kalau hubungan kami tak akan berhasil. Aku melepas cincin itu dan
meletakkannya kembali ke dalam kotak. Lalu aku memunggut kertas di bawah kotak
itu. Study ke Italy, untuk tiga tahun. Apakah aku akan mengambil kesempatan
ini? Aku sekarang sendiri, Hyukjae juga sedang sibuk. Tak ada salahnya aku
memulai langkah nyata dalam hidupku. Tapi ini jurusan desain property, jauh
dari jurusan seni yang kuambil. Entahlah aku mengantuk.
***
Aku
berdiri di bawah lampu taman. Aku yang memintanya datang ke sini. Awalnya ia
menolak dengan alasan dia sibuk. Tapi kali ini kami harus benar-benar bertemu.
Dia datang dengan wajah yang terpaksa. Aku tahu ini sudah tengah malam. Maaf
Hyukie, aku janji ini yang terakhir kalinya. Aku sudah mengambil keputusan
untuk pergi.
“ Mianhe,
Hyukie,” kataku pelan.
“ Kau ini, kau tahu ini sudah jam
berapa? Besok aku harus bangun pagi-pagi sekali.”
“ Maaf telah mengganggumu, tapi aku
janji ini yang terakhir.”
“ terakhir? Apa maksudmu?”
“ Aku akan pergi.”
“ Min ah, kau mau kemana?”
“ ke Italy, aku ingin belajar ke sana.
Mianhe Hyukie, jeongmal mianhe.”
Hyukjae
langsung memelukku erat. Aku pun juga
memeluknya erat. Akankah ini jadi yang terakhir? Aku harap suatu saat
nanti kita akan bertemu lagi. Hyukjae, jeongmal saranghae.
“ Maafkan aku Ji Min, apa kau pergi
karena aku? Apa aku terlalu mendorongmu terlalu jauh? Kumohon jangan pergi,
jangan tinggalkan aku.”
“ tidak bisa, sepertinya kita hanya
jalan di tempat. Kau sibuk dengan duniamu, begitu juga aku. Aku sedih bila
harus jauh darimu. Tapi sudah aku putuskan untuk pergi,” aku sudah tidak kuat
lagi menahan air mataku.
“ Aku …” aku bahkan sudah tidak bisa
berkata-kata lagi.
“ Cincin ini, aku kembalikan padamu.
Aku harap kau terus mengingatku selama cincin ini ada padamu. Semoga kau meraih
mimpimu dan menjadi Eunhyuk (radiant silver) yang bersinar.”
Aku harus
kuatkan diriku. Aku bertahan di Korea pun mungkin tak ada gunanya. Hyukjae
sudah melupakanku, dia sudah memiliki dunianya sendiri. Sekarang saatnya
untukku bisa melupakannya.
“
Mianhe,” aku pergi meninggalkannya.
Tiba-tiba
Hyukjae meraih tanganku dan menggenggam tanganku erat. Aku menatap matanya.
Tatapan itu, tatapan memohon yang tak pernah aku lihat darinya. Tapi tetap saja
aku tidak bisa. Ada setetes air mata di sudut matanya. Aku sudah tak tahan
lagi. Sebelum aku terpengaruhnya lebih baik aku segera pergi. Aku melepas
tangannya dan berlari pergi. Seiring aku melangkah semakin keras aku mengisak.
Ternyata itu bukan isakku seorang. Ia
juga menangis?
“ Ji Min
ah, katjima! Tteonajima!!! Jebal!!!!”
Air mataku sendiri tak hentinya
mengalir saat itu. Mianhe Hyukjae, saranghae…
***